Seorang suami merupakan pemimpin dalam sebuah keluarga. Dia akan diminta
pertanggung jawaban di hadapan Allah terhadap apa yang telah
dipimpinnya. Pembahasan kali ini akan difokuskan pada seputar
kesalahan-kesalahan yang dilakukan sebagian suami terhadap istrinya.
Beberapa kesalahan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tidak mengajari istri tentang Islam dan hukum-hukum syariatnya.
Banyak
para istri yang dijumpai tidak mengetahui bagaimana shalat dengan
benar, apa hukum-hukum yang berkaitan dengan haid dan nifas, dan
bagaimana menjadi seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya secara islami.
Sebaliknya justru banyak dijumpai para istri yang disibukkan dengan
belajar membuat resep suatu masakan, dan bagaimana cara menghidangkan
makanan karena memang suaminya menanyakan tentang hal itu kepadanya.
Akan
tetapi bagaimana cara berwudhu yang benar, bagaimana cara sholat yang
benar, tidak ditanyakan para suami kepada istrinya. Kepada para suami,
sungguh di sana terdapat banyak cara dalam mengajari istri
perkara-perkara agama. Diantaranya adalah memberi hadiah buku tentang
Islam dan hukum hukumnya kemudian mengajaknya berdiskusi, memberi hadiah
kaset ceramah kemudian mintalah agar meringkas apa yang disampaikan
oleh penceramah, mengajak istri menghadiri kajian yang disampaikan
seorang ustadz di masjid, menceritakan kepada istri isi khutbah jum'at
kemudian mendiskusikannya, dan bisa juga menganjurkan istri untuk
mendengarkan bacaan Al Quran dan mendalami maknanya.
2. Mencari-cari kesalahan dan kekurangan istri
Rasulullah
shallallahu ‘alihi wasallam telah melarang hal tersebut sebagaimana
telah diriwayatkan oleh Jabir radhiallahu 'anhu dia berkata; Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam melarang suami yang pulang dari bepergian
mengetuk pintu keluarganya pada malam hari. Larangan tersebut karena
dikhawatirkan ia akan mendapati istrinya dalam keadaan yang kurang
menyenangkan. Demikian juga, hendaknya seorang suami bersabar dan
memahami akan kekurangan yang ada pada istri seperti pada saat istri
lambat dalam merespon perintah suami. Hendaknya juga jangan terlalu
sering mengevaluasi istri, hal ini sebagaimana sabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam, "Berwasiatlah kalian kepada para wanita
(istri) dengan kebaikan, karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk.
Dan bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian yang
paling atas. Bila engkau paksakan untuk meluruskannya, maka engkau akan
mematahkannya. Namun bila engkau biarkan begitu saja (tidak engkau
luruskan) maka dia akan terus menerus bengkok. Karena itu berwasiatlah
kalian kepada para wanita (istri) dengan kebaikan."
Dari hadits di atas ada beberapa pelajaran, yang di antaranya adalah:
a. Dianjurkan bersikap baik dan lemah lembut terhadap istri untuk menyenangkan hatinya
b.
Mendidik wanita dengan sabar dan penuh rasa maaf atas ‘kebengkokan’
mereka. Siapa yang berupaya meluruskan mereka dengan cara yang kasar,
tidak akan dapat mengambil manfaat apapun darinya. Padahal, setiap suami
membutuhkan posisi seorang istri agar mendapatkan ketenangan hidup
bersamanya dan membantu dalam kehidupannya.
c. Seakan-akan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, "Rasa nikmat hidup dengan istri
tidak akan sempurna kecuali dengan bersabar terhadapnya." Dan satu
manfaat lagi yang tidak boleh diabaikan adalah tidak pantas seorang
suami menceraikan istrinya tanpa alasan yang jelas.
3. Berbuat dhalim dengan menjatuhkan hukuman yang tidak sesuai dengan kesalahan.
Sebagian
suami melakukan perbuatan dholim kepada istri dengan memberikan hukuman
kepada istri lebih berat dari kadar kesalahan yang dilakukannya. Di
antara bentuk kedholiman itu adalah dengan menggunakan pukulan sebagai
langkah pertama menasihati istri, padahal Allah telah berfirman, “Dan
wanita-wanita yang kamu khawatirkan berbuat nusyuz, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya.” (QS. An-Nisa': 34).
Oleh karena itu
selayaknya menghukum istri terlebih dahulu adalah dengan nasihat,
kemudian boikot, kemudian pukulan yang tidak keras. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ketahuilah, berwasiatlah kalian
dengan kebaikan kepada para wanita (para istri) karena mereka hanyalah
tawanan di sisi (di tangan) kalian. Kalian tidak menguasai mereka
sedikitpun kecuali hanya itu, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan
keji yang nyata. Maka bila mereka melakukan hal itu, boikotlah mereka
di tempat tidurnya dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras.”
Kemudian
di antara bentuk kedholiman seorang suami kepada istri adalah, mengusir
istri dari rumah tanpa alasan yang dibenarkan dalam islam, memukul
wajah, menghina dan mencaci maki istri. Ada seorang laki laki datang
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya, “Apa hak
seorang istri atas suaminya?” Rasul menjawab, “Hendaklah engkau
memberinya makan apabila engkau makan, memberi pakaian apabila engkau
berpakaian, janganlah memukul wajah dan janganlah engkau hina, dan
jangan engkau boikot kecuali di dalam rumah.”
4. Pelit dalam memberi nafkah
Sesungguhnya
pemberian nafkah seorang suami kepada istri adalah kewajiban yang telah
ditetapkan di dalam Al Quran, as Sunnah dan Ijma'. Allah subhanahu
wata’ala berfirman, “…dan kewajiban bagi seorang ayah untuk memberikan
nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik.” (QS.
Al-Baqarah: 233)
Apabila seorang istri diuji dengan suami yang pelit
dan tidak mau memberikan nafkah yang menjadi haknya, dia dibolehkan
untuk mengambil sebagian harta milik suami secukupnya walau tanpa
sepengetahuan suami. Hindun binti 'Utbah berkata, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Abu Sufyan adalah suami yang pelit, ia tidak memberiku
nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku terkecuali bila aku mengambil
dari hartanya tanpa sepengetahuannya.” Bersabdalah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ambillah dari harta suamimu sekadar yang
dapat mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR.
Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 4452)
5. Terburu buru dan gampang mengucapkan kata cerai
Wahai
para suami, sesungguhnya ikatan antara engkau dan istrimu adalah
merupakan ikatan yang paling suci dan kuat, sebagaimana Allah swt telah
berfirman;
"… Dan mereka (istri-istri kalian) telah mengambil dari kalian perjanjian yang kuat " (An Nisa; 21)
6. Kurangnya rasa cemburu
Di
antara bentuk kurangnya rasa cemburu adalah seorang suami membiarkan
istrinya bercampur baur dengan saudara iparnya atau saudara sepupu
suami. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
“Hati-hati kalian dari masuk ke tempat para wanita.” Para sahabat
bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan ipar?” Beliau
menjawab, “Ipar itu (ibarat) maut.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Di
antara bentuk kurangnya rasa cemburu adalah membiarkan istrinya pergi
berduaan dengan sopir pribadi untuk berbelanja atau jalan-jalan, padahal
berapa banyak bangunan rumah tangga yang runtuh sebagai hasil dari
perbuatan maksiat seperti ini. Wallahu a’lam.
Sabtu, 01 September 2012
Sahabat Membunuh Ayahnya
Peperangan yang tidak seimbang, kaum muslimin berjumlah 314 sementara
kuffar quraisy 950 pasukan. Dalam perang Badar, tersebutlah seorang
sahabat bernama Abu Ubaidah yang berperang penuh keberanian, beliau
menerjang musuh, orang-orang kufar Quraisy segan berhadapan bahkan
mereka takut menghadapi pejuang ini, karena Abu Ubaidah berperang tidak
ada rasa takut untuk mati. Tatkala perang berkecamuk, tiba-tiba ada
diantara tentara Quraisy yang berusaha menghadang Abu Ubaidah, beliaupun
menghindar dari hadangan tentara tersebut dan berusaha menjauh, tetapi
upaya tersebut tidak mendapatkan hasil, tentara Quraisy tersebut
senantiasa mengikuti kemana Abu Ubaidah pergi bahkan menghadangnya penuh
dengan berani. Diwaktu dimana Abu Ubaidah dalam keadaan sempit dan
susah untuk menghindar maka Abu Ubaidah mengayunkan pedangnya dan
menebas orang tersebut, tersungkurlah tentara Quraisy itu. Ternyata
tentara itu adalah Abdullah bin Jarroh, ayah Abu Ubaidah.
Beliau tidak membunuh ayahnya, yang beliau bunuh adalah kesyirikan yang ada pada pribadi ayahnya, yang dengannya Alloh menurunkan wahyuNya,
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الإيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. (al Mujadilah: 22)
Abu Ubaidah adalah seorang sahabat yang berperawakan tinggi, kurus, bermuka tampan. Orang yang melihatnya akan merasa senang dan membuat jiwa tenang dan ingin selalu berjumpa dengannya. Beliau sangat tawadlu, pemalu, tetapi jika keadaan harus memaksa beliau untuk bertindak dan berbuat, maka ia bergegas melakukan bagaikan singa yang hendak menerkam mangsanya.
Abu Ubaidah bernama Amir bin Abdillah bin Jarroh al-Qurasy dan memiliki kunyah Abu Ubaidah.
Abdullah bin Umar bin Khaththab berkata, “Tiga orang yang merupakan pemuka orang Quraisy dan sangat dihormati akhlaq mereka, mulia, pemalu, jika mereka berbicara kepada kalian tidak akan berdusta,jika kalian berbicara dengan mereka, merekapun tidak mendustakan kalian. Mereka adalah Abu Bakar as Siddiq, Utsman bin Affan dan Abu Ubaidah bin Jarroh.”
Menurut tarikh, Abu Ubaidah termasuk orang yang pertama masuk dalam agama islam. Beliau masuk Islam setelah mendapat ajakan Abu Bakar as Siddiq,sehari setelah Abu Bakar menyatakan keislamannya. Setelah itu berturut-turut diikuti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin mad’uun dan Al Arqom bin Abi al Arqom. Mereka semua masuk Islam di hadapan Rasulullah dan mengumumkan keislaman mereka dan merekalah tonggak dan pilar umat ini.
Suatu ketika datanglah utusan dari orang-orang Nasrani kepada Rasulullah. Merekapun berkata, “Wahai abul Qosim(panggilan untuk Rasulullah), utuslah kepada kami seorang laki-laki dari sahabatmu, yang engkau ridhoi untuk menjadi hakim dan penengah diantara kami dalam suatu urusan yang kami miliki dari harta kami yang kita berselisih didalamnya, karena kaum muslimin dihadapan kami sangat terhormat dan kami ridho dengan kalian.” Maka Rasulullah bersabda, “Datanglah nanti sore, niscaya aku akan kirim orang yang kuat dan terpercaya.” Umar berkata, “Maka aku datang untuk sholat dhuhur di awal waktu dan aku tidak berharap untuk memperoleh jabatan sebagai pemimpin kecuali waktu itu, dan harapanku adalah orang yang di pilih Rasul adalah aku, sesudah sholat dhuhur, maka baginda Nabi menoleh ke kanan dan ke kiri, maka akupun berusaha menampakkan diriku sehingga baginda Nabi melihatku. Nabi kembali menengok ke kanan dan ke kiri, kemudian beliau melihat Abu Ubaidah dan memanggilnya dan berkata,’Pergilah bersama mereka(orang-orang Nasrani) dan jadilah penengah diantara mereka, hakimilah apa yang mereka perselisihkan dengan adil’, maka aku(Umar) berkata,’'Abu Ubaidahlah yang telah meraihnya.”
Sesudah Rasulullah wafat, maka Umar berkata kepada Abu baidah,”Bentangkanlah tanganmu wahai Abu Ubaidah karena aku mendengar Nabi bersabda,’ Tiap umat memiliki orang yang dipercaya dan sesungguhnya orang yang terpercaya untuk umat ini adalah Abu Ubaidah.’.” Maka beliau menjawab,”Aku tidak akan maju dan didepanku ada orang yang diperintah Rasulullah untuk menjadi imam sholat dan kami akan mempercayakannya sampai wafat.” Kemudian Abu Bakar dibaiat dan kaum muslimin pun sepakat untuk membaiatnya.
Menjelang wafat, Abu Ubaidah berwasiat kepada tentaranya dan waktu itu beliau berada di negeri Syam. “Sesungguhnya aku berwasiat kepada kalian, dan kalian akan semakin baik selama kalian memeganginya yaitu dirikanlah sholat, berpuasalah Romadhon, bersedekahlah, berhajilah dan berumrohlah, dan lakukanlah saling memberi nasehat, nasehatilah pemimpin kalian dan janganlah kalian curangi mereka dan janganlah kalian mencampakkan dalam kebinasaan karena dunia…” Tidak lama sesudah beliau memberi nasehat, ajalpun menyongsongnya, semoga Allah meridhoinya dan meridhoi kita semua. Amiin, ya Robbal alamin..
Beliau tidak membunuh ayahnya, yang beliau bunuh adalah kesyirikan yang ada pada pribadi ayahnya, yang dengannya Alloh menurunkan wahyuNya,
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الإيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. (al Mujadilah: 22)
Abu Ubaidah adalah seorang sahabat yang berperawakan tinggi, kurus, bermuka tampan. Orang yang melihatnya akan merasa senang dan membuat jiwa tenang dan ingin selalu berjumpa dengannya. Beliau sangat tawadlu, pemalu, tetapi jika keadaan harus memaksa beliau untuk bertindak dan berbuat, maka ia bergegas melakukan bagaikan singa yang hendak menerkam mangsanya.
Abu Ubaidah bernama Amir bin Abdillah bin Jarroh al-Qurasy dan memiliki kunyah Abu Ubaidah.
Abdullah bin Umar bin Khaththab berkata, “Tiga orang yang merupakan pemuka orang Quraisy dan sangat dihormati akhlaq mereka, mulia, pemalu, jika mereka berbicara kepada kalian tidak akan berdusta,jika kalian berbicara dengan mereka, merekapun tidak mendustakan kalian. Mereka adalah Abu Bakar as Siddiq, Utsman bin Affan dan Abu Ubaidah bin Jarroh.”
Menurut tarikh, Abu Ubaidah termasuk orang yang pertama masuk dalam agama islam. Beliau masuk Islam setelah mendapat ajakan Abu Bakar as Siddiq,sehari setelah Abu Bakar menyatakan keislamannya. Setelah itu berturut-turut diikuti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin mad’uun dan Al Arqom bin Abi al Arqom. Mereka semua masuk Islam di hadapan Rasulullah dan mengumumkan keislaman mereka dan merekalah tonggak dan pilar umat ini.
Suatu ketika datanglah utusan dari orang-orang Nasrani kepada Rasulullah. Merekapun berkata, “Wahai abul Qosim(panggilan untuk Rasulullah), utuslah kepada kami seorang laki-laki dari sahabatmu, yang engkau ridhoi untuk menjadi hakim dan penengah diantara kami dalam suatu urusan yang kami miliki dari harta kami yang kita berselisih didalamnya, karena kaum muslimin dihadapan kami sangat terhormat dan kami ridho dengan kalian.” Maka Rasulullah bersabda, “Datanglah nanti sore, niscaya aku akan kirim orang yang kuat dan terpercaya.” Umar berkata, “Maka aku datang untuk sholat dhuhur di awal waktu dan aku tidak berharap untuk memperoleh jabatan sebagai pemimpin kecuali waktu itu, dan harapanku adalah orang yang di pilih Rasul adalah aku, sesudah sholat dhuhur, maka baginda Nabi menoleh ke kanan dan ke kiri, maka akupun berusaha menampakkan diriku sehingga baginda Nabi melihatku. Nabi kembali menengok ke kanan dan ke kiri, kemudian beliau melihat Abu Ubaidah dan memanggilnya dan berkata,’Pergilah bersama mereka(orang-orang Nasrani) dan jadilah penengah diantara mereka, hakimilah apa yang mereka perselisihkan dengan adil’, maka aku(Umar) berkata,’'Abu Ubaidahlah yang telah meraihnya.”
Sesudah Rasulullah wafat, maka Umar berkata kepada Abu baidah,”Bentangkanlah tanganmu wahai Abu Ubaidah karena aku mendengar Nabi bersabda,’ Tiap umat memiliki orang yang dipercaya dan sesungguhnya orang yang terpercaya untuk umat ini adalah Abu Ubaidah.’.” Maka beliau menjawab,”Aku tidak akan maju dan didepanku ada orang yang diperintah Rasulullah untuk menjadi imam sholat dan kami akan mempercayakannya sampai wafat.” Kemudian Abu Bakar dibaiat dan kaum muslimin pun sepakat untuk membaiatnya.
Menjelang wafat, Abu Ubaidah berwasiat kepada tentaranya dan waktu itu beliau berada di negeri Syam. “Sesungguhnya aku berwasiat kepada kalian, dan kalian akan semakin baik selama kalian memeganginya yaitu dirikanlah sholat, berpuasalah Romadhon, bersedekahlah, berhajilah dan berumrohlah, dan lakukanlah saling memberi nasehat, nasehatilah pemimpin kalian dan janganlah kalian curangi mereka dan janganlah kalian mencampakkan dalam kebinasaan karena dunia…” Tidak lama sesudah beliau memberi nasehat, ajalpun menyongsongnya, semoga Allah meridhoinya dan meridhoi kita semua. Amiin, ya Robbal alamin..
Minggu, 20 Mei 2012
Jika Darah haid terputus-putus
Definisi Haid.
Arti lughowi : Mengalir.
Arti syar’I : Darah alami yang keluar dari ujung rahim pada saat sehat.
Keterangan : Darah yang keluar tidak secara alami bukan darah haid seperti darah yang keluar sebelum dan ketika melahirkan.
Usia minimal.
Usia wanita haid : Dimulai dari umur 9 tahun qamariyah taqribiyah.
Keterangan : Tahun qamariyah adalah tahun Hijriyah, sedangkan taqribiyah artinya untuk dapat mengalami haid tidak harus berumur 9 tahun persis, jadi jika darah keluar pada umur 9 tahun kurang 15 hari misalnya (masa yang tidak cukup untuk haid dan suci), maka darah tersebut sudah dihukumi haid.
Masa haid.
Minimal : Sehari semalam atau 24 jam.
Kebanyakan : 7 – 6 hari.
Maksimal : 15 hari.
Keterangan :• Darah yang keluar kurang dari 24 jam adalah darah istihadloh.
• Darah yang keluar lebih dari 15 hari adalah darah haid yang bercampur dengan darah istihadloh, maka harus diteliti lagi dengan mempelajari tujuh gambaran perempuan mustahadloh yang akan dijelaskan.
Masa suci antara dua haid.
Minimal : 15 hari.
Kebanyakan : Sisa hari-hari haid dalam sebulan.
Maksimal : Tidak terbatas.
Keterangan : Jika haid kedua datang sebelum masa suci sempurna 15 hari, maka darah itu bukanlah darah haid, wanita tersebut tetap dihukumi suci sampai sempurnanya masa suci 15 hari. Jika setelah masa suci sempurna darah tetap keluar, maka darah yang terakhir ini adalah haid.
Tanda berhentinya haid
: Suci dapat diketahui dengan memasukkan kapas ke Mrs.V. Jika tidak nampak bercak pada kapas berupa darah maupun warna kuning atau keruh maka haid telah usai.
Warna darah haid.
Warna haid : Hitam, merah, merah kekuning-kuningan, kuning dan keruh.
Keterangan : Ulama’ berbeda pendapat pada warna kuning dan keruh. Pendapat yang mu’tamad menyatakan haid.
Imam Al-Juwaini menjelaskan, “Kedua warna itu bukanlah darah melainkan cairan seperti nanah yang diatasnya ada warna kuning atau keruh”.
Penting : Penentuan masa haid, masa suci dan semua hukum-hukum yang berhubungan dengan haid adalah hasil penelitian Imam Syafi’i terhadap para wanita di zamannya, kemudian beliau rumuskan riset tersebut dengan dalil-dalil Alqur’an dan hadits sehingga timbullah ide-ide mengenai hukum-hukum haid.
Oleh karena itu, jika terjadi kebiasaan darah yang berbeda dengan ketentuan di atas pada seorang wanita atau para wanita di suatu daerah, maka kebiasaan tersebut tidak bisa mempengaruhi hukum haid yang telah ditentukan. Lebih baik menghukumi darah mereka sebagai darah fasad (penyakit), daripada harus merusak kaedah yang telah baku, karena penelitian ulama’ terdahulu tentu lebih sempurna.
YANG HARUS DILAKUKAN KETIKA MELIHAT DARAH
Setiap melihat darah seorang wanita harus langsung meninggalkan larangan-larangan haid tanpa menunggu 24 jam. Selanjutnya, jika darah tersebut berhenti sebelum mencapai 24 jam maka dia harus menqodlo’ sholat yang dia tinggalkan karena terbukti ini bukan haid.
Kemudian jika darah tersebut keluar lagi sebelum 15 hari maka dia harus meninggalkan lagi larangan-larangan haid. Begitu seterusnya.
Adapun jika darah tersebut berhenti setelah mencapai 24 jam maka jelaslah bahwa ini haid. Dan saat ini dia wajib mandi, sholat, puasa (di bulan Ramadhan) dan boleh baginya bersetubuh dengan suaminya karena darah sudah berhenti.
Jika kemudian darah tersebut keluar lagi sebelum lewat 15 hari jelaslah sudah bahwa ibadah yang dia lakukan tadi tidak sah karena ternyata dia masih haid.
Namun dia tidak berdosa dengan persetubuhan yang telah dia lakukan, karena saat melakukannya secara dhohir dia telah suci
Demikianlah yang harus dilakukan wanita haid jika darahnya datang terputus-putus selama tidak melebihi 15 hari.
Setelah membaca keterangan di atas, maka dapat disimpulkan waktu haid maksimal adalah 15 hari 15 malam (360 jam). Oleh karena itu, jika darah keluar tidak lebih dari 15 hari maka waktu mulai keluar darah sampai 15 hari dihukumi haid. Namun jika masih keluar setelah 15 hari 15 malam, maka dinyatakan darah istihadhoh.
Apabila darah terputus-putus, maka setiap melihat darah berhenti diperinci sebagai berikut :
jika darah yang keluar telah mencapai paling sedikitnya haid yaitu sehari semalam (24 jam), maka wajib baginya untuk mandi, shalat dan puasa (di bulan Ramadhan), baik di bulan sebelumnya sudah pernah terjadi putusnya darah lalu keluar lagi ataukah belum pernah terjadi. Ini menurut pendapat Imam Ibn Hajar. Adapun menurut Imam Rofi’i jika di bulan sebelumnya pernah terjadi, maka tidak wajib mandi, shalat dan puasa.
jika darah yang keluar kurang dari 24 jam, maka darah tersebut adalah darah istihadhoh, sehingga tidak wajib mandi.
Apabila darah keluar lagi sebelum 15 hari (dari keluar darah pertama), maka menjadi jelas bahwa dia masih dalam keadaan haid, sehingga wajib mengqodho’ puasa yang telah dia kerjakan di waktu putusnya darah dan tidak wajib qodho’ shalat.
Arti lughowi : Mengalir.
Arti syar’I : Darah alami yang keluar dari ujung rahim pada saat sehat.
Keterangan : Darah yang keluar tidak secara alami bukan darah haid seperti darah yang keluar sebelum dan ketika melahirkan.
Usia minimal.
Usia wanita haid : Dimulai dari umur 9 tahun qamariyah taqribiyah.
Keterangan : Tahun qamariyah adalah tahun Hijriyah, sedangkan taqribiyah artinya untuk dapat mengalami haid tidak harus berumur 9 tahun persis, jadi jika darah keluar pada umur 9 tahun kurang 15 hari misalnya (masa yang tidak cukup untuk haid dan suci), maka darah tersebut sudah dihukumi haid.
Masa haid.
Minimal : Sehari semalam atau 24 jam.
Kebanyakan : 7 – 6 hari.
Maksimal : 15 hari.
Keterangan :• Darah yang keluar kurang dari 24 jam adalah darah istihadloh.
• Darah yang keluar lebih dari 15 hari adalah darah haid yang bercampur dengan darah istihadloh, maka harus diteliti lagi dengan mempelajari tujuh gambaran perempuan mustahadloh yang akan dijelaskan.
Masa suci antara dua haid.
Minimal : 15 hari.
Kebanyakan : Sisa hari-hari haid dalam sebulan.
Maksimal : Tidak terbatas.
Keterangan : Jika haid kedua datang sebelum masa suci sempurna 15 hari, maka darah itu bukanlah darah haid, wanita tersebut tetap dihukumi suci sampai sempurnanya masa suci 15 hari. Jika setelah masa suci sempurna darah tetap keluar, maka darah yang terakhir ini adalah haid.
Tanda berhentinya haid
: Suci dapat diketahui dengan memasukkan kapas ke Mrs.V. Jika tidak nampak bercak pada kapas berupa darah maupun warna kuning atau keruh maka haid telah usai.
Warna darah haid.
Warna haid : Hitam, merah, merah kekuning-kuningan, kuning dan keruh.
Keterangan : Ulama’ berbeda pendapat pada warna kuning dan keruh. Pendapat yang mu’tamad menyatakan haid.
Imam Al-Juwaini menjelaskan, “Kedua warna itu bukanlah darah melainkan cairan seperti nanah yang diatasnya ada warna kuning atau keruh”.
Penting : Penentuan masa haid, masa suci dan semua hukum-hukum yang berhubungan dengan haid adalah hasil penelitian Imam Syafi’i terhadap para wanita di zamannya, kemudian beliau rumuskan riset tersebut dengan dalil-dalil Alqur’an dan hadits sehingga timbullah ide-ide mengenai hukum-hukum haid.
Oleh karena itu, jika terjadi kebiasaan darah yang berbeda dengan ketentuan di atas pada seorang wanita atau para wanita di suatu daerah, maka kebiasaan tersebut tidak bisa mempengaruhi hukum haid yang telah ditentukan. Lebih baik menghukumi darah mereka sebagai darah fasad (penyakit), daripada harus merusak kaedah yang telah baku, karena penelitian ulama’ terdahulu tentu lebih sempurna.
YANG HARUS DILAKUKAN KETIKA MELIHAT DARAH
Setiap melihat darah seorang wanita harus langsung meninggalkan larangan-larangan haid tanpa menunggu 24 jam. Selanjutnya, jika darah tersebut berhenti sebelum mencapai 24 jam maka dia harus menqodlo’ sholat yang dia tinggalkan karena terbukti ini bukan haid.
Kemudian jika darah tersebut keluar lagi sebelum 15 hari maka dia harus meninggalkan lagi larangan-larangan haid. Begitu seterusnya.
Adapun jika darah tersebut berhenti setelah mencapai 24 jam maka jelaslah bahwa ini haid. Dan saat ini dia wajib mandi, sholat, puasa (di bulan Ramadhan) dan boleh baginya bersetubuh dengan suaminya karena darah sudah berhenti.
Jika kemudian darah tersebut keluar lagi sebelum lewat 15 hari jelaslah sudah bahwa ibadah yang dia lakukan tadi tidak sah karena ternyata dia masih haid.
Namun dia tidak berdosa dengan persetubuhan yang telah dia lakukan, karena saat melakukannya secara dhohir dia telah suci
Demikianlah yang harus dilakukan wanita haid jika darahnya datang terputus-putus selama tidak melebihi 15 hari.
Setelah membaca keterangan di atas, maka dapat disimpulkan waktu haid maksimal adalah 15 hari 15 malam (360 jam). Oleh karena itu, jika darah keluar tidak lebih dari 15 hari maka waktu mulai keluar darah sampai 15 hari dihukumi haid. Namun jika masih keluar setelah 15 hari 15 malam, maka dinyatakan darah istihadhoh.
Apabila darah terputus-putus, maka setiap melihat darah berhenti diperinci sebagai berikut :
jika darah yang keluar telah mencapai paling sedikitnya haid yaitu sehari semalam (24 jam), maka wajib baginya untuk mandi, shalat dan puasa (di bulan Ramadhan), baik di bulan sebelumnya sudah pernah terjadi putusnya darah lalu keluar lagi ataukah belum pernah terjadi. Ini menurut pendapat Imam Ibn Hajar. Adapun menurut Imam Rofi’i jika di bulan sebelumnya pernah terjadi, maka tidak wajib mandi, shalat dan puasa.
jika darah yang keluar kurang dari 24 jam, maka darah tersebut adalah darah istihadhoh, sehingga tidak wajib mandi.
Apabila darah keluar lagi sebelum 15 hari (dari keluar darah pertama), maka menjadi jelas bahwa dia masih dalam keadaan haid, sehingga wajib mengqodho’ puasa yang telah dia kerjakan di waktu putusnya darah dan tidak wajib qodho’ shalat.
contoh suami yang Saleh dalam Keluarga
1. Suami pandai menumbuhkan suasana yang damai,vtenteram serta penuh kasih sayang kepada keluarga.
2. Suami mempunyai sifat ramah dan penuh pengertian dalam keluarga.
3. Suami selalu membimbing isterinya agar selalu taat kepada Allah Azza Wa Jalla dan Rasul-Nya.
4. Suami bertanggung jawab dalam segala urusan rumah tangga.
5. Suami menafkahi isteri dengan cukup, baik nafkah lahir maupun nafkah batin.
6. Suami menyempatkan diri dan tidak segan-segan mengajari ilmu agama kepada isterinya dan anak-anaknya
7. Ia menerima apa adanya keadaan isteri dengan segala kekurangan dan keterbatasannya. Baik itu keadaan fisik maupun sifat-sifat yang ada pada isterinya.
8. Suami tidak mudah marah ketika ada perselisihan dalam rumah tangga.
9. Suami selalu mencari solusi dan jalan keluar yang baik untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi dalam keluarganya.
10. Suami Ketika hendak bepergian ia selalu pamit serta memberitahukan tujuan kepada isterinya.
11. Suami tak lelah untuk menasehati dengan sebaik-baiknya jika isterinya berbuat kesalahan.Serta membimbingnya ke jalan yang benar.
12. Suami tidak membebani isterinya dengan persoalan yang masih bisa diselesaikannya sendiri.
13. Suami selalu meluangkan waktu untuk bersantai dan bercengkrama bersama isteri dan anak-anaknya.
Seorang suami yang sholeh adalah suami yang mampu membuat istrinya dan anak-anaknya tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang luar biasa serta menapaki tangga-tangga sukses di dunia dan di akhirat kelak.
Seorang suami yang shaleh adalah suami yang mampu membimbing istri dan anak-anaknya di dalam sebuah akidah Syariat Islam menuju NUUR JANNAH (CAHAYA SYURGA), seorang suami yang sholeh adalah suami yang akan selalu menjaga istri dan anak-anaknya dari api neraka.
Pada umumnya kehidupan rumah tangga tidak lepas dari konflik seperti terjadinya kemarahan di antara suami istri, apakah rumah tangga orang-orang shalih ataupun orang-orang ahli maksiat. Namun terdapat perbedaan yang jelas pada rumah tangga orang-orang shalih di satu sisi. Yaitu mereka tidak membiarkan permasalahan yang ada berjalan di atas kemauan syaithan. Bahkan mereka bila marah berlindung kepada Allah dari syaithan, memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka, menyatukan pendapat, meluruskan permasalahan mereka dan menyingkirkan makar syaithan.
Apabila timbul permasalahan di antara suami istri, maka mereka harus segera menyelesaikannya dan berlindung kepada Allah Azza Wa Jalla dari syaithan yang terkutuk, melakukan upaya perdamaian, menutup pintu-pintu dan menjulurkan hijab (tidak membiarkan terlibatnya pihak ketiga). Misalnya apabila sang suami marah atau sang istri sedang emosi maka hendaknya berlindung dari syaithan, mengambil air wudhu`dan shalat dua raka’at. Jika salah seorang di antara suami-istri sedang berdiri, maka hendaklah dia duduk agar hilang marahnya. Bila sedang duduk, berbaringlah atau saling berpelukan dan merangkul serta saling mema'afkan dengan Ikhlas.
Semoga Allah Azza Wa Jalla memperbaiki keadaan kita dan keluarga kita semua sehingga tetap Istiqomah di atas Syari’at-Nya dalam Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah.,,, Aamiin Ya Rabbal’alamiin.
2. Suami mempunyai sifat ramah dan penuh pengertian dalam keluarga.
3. Suami selalu membimbing isterinya agar selalu taat kepada Allah Azza Wa Jalla dan Rasul-Nya.
4. Suami bertanggung jawab dalam segala urusan rumah tangga.
5. Suami menafkahi isteri dengan cukup, baik nafkah lahir maupun nafkah batin.
6. Suami menyempatkan diri dan tidak segan-segan mengajari ilmu agama kepada isterinya dan anak-anaknya
7. Ia menerima apa adanya keadaan isteri dengan segala kekurangan dan keterbatasannya. Baik itu keadaan fisik maupun sifat-sifat yang ada pada isterinya.
8. Suami tidak mudah marah ketika ada perselisihan dalam rumah tangga.
9. Suami selalu mencari solusi dan jalan keluar yang baik untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi dalam keluarganya.
10. Suami Ketika hendak bepergian ia selalu pamit serta memberitahukan tujuan kepada isterinya.
11. Suami tak lelah untuk menasehati dengan sebaik-baiknya jika isterinya berbuat kesalahan.Serta membimbingnya ke jalan yang benar.
12. Suami tidak membebani isterinya dengan persoalan yang masih bisa diselesaikannya sendiri.
13. Suami selalu meluangkan waktu untuk bersantai dan bercengkrama bersama isteri dan anak-anaknya.
Seorang suami yang sholeh adalah suami yang mampu membuat istrinya dan anak-anaknya tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang luar biasa serta menapaki tangga-tangga sukses di dunia dan di akhirat kelak.
Seorang suami yang shaleh adalah suami yang mampu membimbing istri dan anak-anaknya di dalam sebuah akidah Syariat Islam menuju NUUR JANNAH (CAHAYA SYURGA), seorang suami yang sholeh adalah suami yang akan selalu menjaga istri dan anak-anaknya dari api neraka.
Pada umumnya kehidupan rumah tangga tidak lepas dari konflik seperti terjadinya kemarahan di antara suami istri, apakah rumah tangga orang-orang shalih ataupun orang-orang ahli maksiat. Namun terdapat perbedaan yang jelas pada rumah tangga orang-orang shalih di satu sisi. Yaitu mereka tidak membiarkan permasalahan yang ada berjalan di atas kemauan syaithan. Bahkan mereka bila marah berlindung kepada Allah dari syaithan, memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka, menyatukan pendapat, meluruskan permasalahan mereka dan menyingkirkan makar syaithan.
Apabila timbul permasalahan di antara suami istri, maka mereka harus segera menyelesaikannya dan berlindung kepada Allah Azza Wa Jalla dari syaithan yang terkutuk, melakukan upaya perdamaian, menutup pintu-pintu dan menjulurkan hijab (tidak membiarkan terlibatnya pihak ketiga). Misalnya apabila sang suami marah atau sang istri sedang emosi maka hendaknya berlindung dari syaithan, mengambil air wudhu`dan shalat dua raka’at. Jika salah seorang di antara suami-istri sedang berdiri, maka hendaklah dia duduk agar hilang marahnya. Bila sedang duduk, berbaringlah atau saling berpelukan dan merangkul serta saling mema'afkan dengan Ikhlas.
Semoga Allah Azza Wa Jalla memperbaiki keadaan kita dan keluarga kita semua sehingga tetap Istiqomah di atas Syari’at-Nya dalam Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah.,,, Aamiin Ya Rabbal’alamiin.
Doa-doa Rasulah SAW sebelum Salam Sholat
Apakah doa yang anda baca sebelum memberi salam dalam solat? Atau anda tidak pernah berdoa ketika itu?
Sekiranya anda tidak pernah mengamalkannya maka anda tersangat rugi kerana waktu itu merupakan waktu doa yang mustajab dan merupakan amalan Rasulullah S.A.W. sepanjang hidupnya.
Sangat banyak doa-doa yang dibaca oleh baginda selepas tasyahhud dan sebelum salam. Berikut adalah doa-doa tersebut :
1. Ya Allah! Aku berlindung denganMu daripada azab neraka jahanam, daripada azab kubur, daripada fitnah kehidupan dan kematian, dan daripada kejahatan fitnah dajjal. - [Imam Muslim]
2. Ya Allah! Aku berlindung denganMu daripada azab kubur, aku berlindung denganMu daripada fitnah Dajjal, aku berlindung denganMu daripada fitnah kehidupan dan kematian. Ya Allah! Aku berlindung denganMu daripada dosa dan hutang. - [Imam al-Bukhari]
3. “Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari bakhil, aku berlindung kepadaMu dari penakut, aku berlindung kepadaMu dari dikembalikan ke usia yang terhina, dan aku berlin-dung kepadaMu dari fitnah dunia dan siksa kubur. - [Imam al-Bukhari]
4. “Ya Allah! Berilah pertolongan kepadaku untuk mengingatiMu, bersyukur kepadaMu dan ibadah yang baik untukMu. - [ Abu Dawud dan al-Nasa’ie]
5. Ya Allah! Aku berlindung daripada kejahatan yang telah aku lakukan, dan daripada kejahatan lakukan. - [al-Nasa’i]
6. Ya Allah! Hitunglah aku dengan perhitungan yang mudah.
7. Ya Allah! Sesungguhnya aku telah banyak menzalimi diriku sendiri. Tiada yang dapat mengampunkan dosa-dosa kecuali Engkau, maka ampunilah diriku dengan keampunan yang Engkau miliki. Rahmatilah aku. Sesungguhnya Maha Pengampun dan Penyayang. - [Imam al-Bukhari]
8. Ya Allah! Aku memohon kepada Mu. Ya Allah Yang Maha Esa. Yang Tidak Melahirkan dan Tidak Dilahirkan, dan tidak ada yang setara dengannya, Engkau ampunilah dosa-dosaku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Penyayang. - [Imam Abu Dawud]
9. Ya Allah! Ampunilah aku untuk apa yang telah aku (lakukan) di masa lalu dan apa yang akan aku (lakukan) di masa hadapan, apa yang aku (lakukan) secara tersembunyi dan apa yang aku (lakukan) terang-terangan, apa yang telah aku berlebih-lebihan, dan apa-apa yang lebih Engkau ketahui berbanding diriku sendiri. Engkaulah Yang Mendahului dan Engkaulah Yang Mengakhiri. Tiada yang berhak disembah melainkan Engkau. - [Imam Abu Dawud]
10. “Ya Allah! Sesungguhnya aku mo-hon kepadaMu, agar dimasukkan ke Surga dan aku berlindung kepadaMu dari Neraka. - [ Abu Dawud]
Semoga kita dapat mengamalkan doa-doa Rasulullah S.A.W. ini dalam setiap kali solat. InsyaAllah..
Sekiranya anda tidak pernah mengamalkannya maka anda tersangat rugi kerana waktu itu merupakan waktu doa yang mustajab dan merupakan amalan Rasulullah S.A.W. sepanjang hidupnya.
Sangat banyak doa-doa yang dibaca oleh baginda selepas tasyahhud dan sebelum salam. Berikut adalah doa-doa tersebut :
1. Ya Allah! Aku berlindung denganMu daripada azab neraka jahanam, daripada azab kubur, daripada fitnah kehidupan dan kematian, dan daripada kejahatan fitnah dajjal. - [Imam Muslim]
2. Ya Allah! Aku berlindung denganMu daripada azab kubur, aku berlindung denganMu daripada fitnah Dajjal, aku berlindung denganMu daripada fitnah kehidupan dan kematian. Ya Allah! Aku berlindung denganMu daripada dosa dan hutang. - [Imam al-Bukhari]
3. “Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari bakhil, aku berlindung kepadaMu dari penakut, aku berlindung kepadaMu dari dikembalikan ke usia yang terhina, dan aku berlin-dung kepadaMu dari fitnah dunia dan siksa kubur. - [Imam al-Bukhari]
4. “Ya Allah! Berilah pertolongan kepadaku untuk mengingatiMu, bersyukur kepadaMu dan ibadah yang baik untukMu. - [ Abu Dawud dan al-Nasa’ie]
5. Ya Allah! Aku berlindung daripada kejahatan yang telah aku lakukan, dan daripada kejahatan lakukan. - [al-Nasa’i]
6. Ya Allah! Hitunglah aku dengan perhitungan yang mudah.
7. Ya Allah! Sesungguhnya aku telah banyak menzalimi diriku sendiri. Tiada yang dapat mengampunkan dosa-dosa kecuali Engkau, maka ampunilah diriku dengan keampunan yang Engkau miliki. Rahmatilah aku. Sesungguhnya Maha Pengampun dan Penyayang. - [Imam al-Bukhari]
8. Ya Allah! Aku memohon kepada Mu. Ya Allah Yang Maha Esa. Yang Tidak Melahirkan dan Tidak Dilahirkan, dan tidak ada yang setara dengannya, Engkau ampunilah dosa-dosaku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Penyayang. - [Imam Abu Dawud]
9. Ya Allah! Ampunilah aku untuk apa yang telah aku (lakukan) di masa lalu dan apa yang akan aku (lakukan) di masa hadapan, apa yang aku (lakukan) secara tersembunyi dan apa yang aku (lakukan) terang-terangan, apa yang telah aku berlebih-lebihan, dan apa-apa yang lebih Engkau ketahui berbanding diriku sendiri. Engkaulah Yang Mendahului dan Engkaulah Yang Mengakhiri. Tiada yang berhak disembah melainkan Engkau. - [Imam Abu Dawud]
10. “Ya Allah! Sesungguhnya aku mo-hon kepadaMu, agar dimasukkan ke Surga dan aku berlindung kepadaMu dari Neraka. - [ Abu Dawud]
Semoga kita dapat mengamalkan doa-doa Rasulullah S.A.W. ini dalam setiap kali solat. InsyaAllah..
Rabu, 16 Mei 2012
Dianjurkan memperbanyak sholawat pada hari jumat
Assalamua’laikum wr.wb.
Pada hari Jumat disunahkan untuk memperbanyakkan shalawat kepada Nabi. Berapakah jumlah shalawat yang perlu dibaca pada hari Jumat?
Jawaban:
Anjuran Memperbanyak Shalawat di Hari Jumat Benar, Dalil tentang hal ini adalah hadist dari sahabat Aus bin Aus radhiallallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Sesungguhnya hari yang paling utama adalah hari Jumat, karena itu perbanyaklah membaca shalawat untukku. Sesuhngguhnya shalawat kalian ditampakkan kepadaku.”
Sahabat bertanya, Bagaimana shalawat kami bisa ditampakkan kepada Anda, sementara Anda sudah menjadi tanah (di kubur)?
Beliau menjawab,“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan bumi untuk memakan jasad para nabi shallallahu ‘alaihim wa sallam.”(HR. Abu Daud, Nasa’i, Ibn Majah, dan dinyatakan shahih Syaikh Al-Albani)
Jika kita amati, hadist di atas hanya menunjukkan anjuran memperbanyak shalawat di hari Jumat. Mengenai bilangannya, bacaannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan dalam hadis tersbut. Dengan demikian, kita amalkan sebagaimana teksnya:
a. Perbanyak shalawat di hari Jumat tanpa bilangan maksimal, semakin banyak semakin besar pahalanya
b. Bacaan shalawat sebagaimana shalawat pada umumnya, seperti lafadz: "Allohumma sholli a'la syayyidina Muhammad wa 'ala ali syayidina Muhammad".
c. Tidak perlu ada acara khusus untuk memperbanyak shalawat di hari Jumat.
Allahu a’lam
Pada hari Jumat disunahkan untuk memperbanyakkan shalawat kepada Nabi. Berapakah jumlah shalawat yang perlu dibaca pada hari Jumat?
Jawaban:
Anjuran Memperbanyak Shalawat di Hari Jumat Benar, Dalil tentang hal ini adalah hadist dari sahabat Aus bin Aus radhiallallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Sesungguhnya hari yang paling utama adalah hari Jumat, karena itu perbanyaklah membaca shalawat untukku. Sesuhngguhnya shalawat kalian ditampakkan kepadaku.”
Sahabat bertanya, Bagaimana shalawat kami bisa ditampakkan kepada Anda, sementara Anda sudah menjadi tanah (di kubur)?
Beliau menjawab,“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan bumi untuk memakan jasad para nabi shallallahu ‘alaihim wa sallam.”(HR. Abu Daud, Nasa’i, Ibn Majah, dan dinyatakan shahih Syaikh Al-Albani)
Jika kita amati, hadist di atas hanya menunjukkan anjuran memperbanyak shalawat di hari Jumat. Mengenai bilangannya, bacaannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan dalam hadis tersbut. Dengan demikian, kita amalkan sebagaimana teksnya:
a. Perbanyak shalawat di hari Jumat tanpa bilangan maksimal, semakin banyak semakin besar pahalanya
b. Bacaan shalawat sebagaimana shalawat pada umumnya, seperti lafadz: "Allohumma sholli a'la syayyidina Muhammad wa 'ala ali syayidina Muhammad".
c. Tidak perlu ada acara khusus untuk memperbanyak shalawat di hari Jumat.
Allahu a’lam
10 Sikap Buruk Manusia yang Dicela ALLH
SYEIKH Abdul Kadir Abdul Mutalib dalam buku tasauf Penawar Bagi Hati
menjelaskan mengenai sepuluh celaan Allah kepada manusia akibat dari
kelakuan dan tabiat manusia sendiri ketika menempuh kehidupan seharian.
Sepuluh celaan itu berdasarkan sepuluh sikap yang lazim dilakukan
manusia iaitu:
1. Gelojoh ketika makan
Dalam erti kata lain, seseorang yang kuat dan tidak bersopan ketika makan. Sikap ini juga meliputi maksud makan terlalu kenyang, menyediakan makanan dalam jumlah yang berlebihan, yang akhirnya membawa kepada pembaziran.
2. Banyak bercakap
Allah mencela manusia yang suka bercakap perkara yang sia-sia, fitnah memfitnah, umpat keji dan kata mengata kerana semua jenis percakapan itu menjurus kepada permusuhan dan perbalahan sesama manusia.
3. Suka marah-marah
Kemarahan boleh membuat seseorang itu bertindak di luar batas kemanusiaan. Perbuatan marah akan diikuti dengan maki hamun, mengherdik dan perkelahian yang boleh mengakibatkan kecederaan atau pembunuhan.
4. Hasad dengki
Seseorang yang bersifat dengki sanggup melakukan apa saja dalam bentuk kejahatan atau jenayah. Perbuatan menipu dan sanggup memusnah hidup orang lain adalah antara sifat keji yang lahir dari perasaan hasad dengki. Rasulullah bersabda: ‘Dengki itu memakan segala kebaikan’ (riwayat Muslim).
5. Kedekut & bakhil
Rezeki yang Allah kurniakan lebih suka disimpan hingga bertimbun banyaknya. Sifat kedekut menghijab (menutup) seseorang dari membelanjakan sebahagian dari hartanya ke jalan kebaikan termasuk menderma, membuat kebajikan kejalan Allah dan membantu orang yang memerlukan.
6. Bermegah-megah
Ia termasuk sikap suka status atau jawatan, gelaran dan menerima sanjungan.
7. Cintakan dunia
Terlalu menghambakan diri kepada perkara duniawi hingga melupakan tuntutan ukhrawi. Rasulullah bersabda: “Bekerjalah kamu di dunia seolah-olah kamu akan hidup seribu tahun, dan beramallah kamu untuk akhirat seolah-olah kamu akan mati esok hari.” (riwayat Bukhari dan Muslim).
8. Ego atau sombong
Sifat membuat seseorang merasakan dirinya mempunyai kelebihan dalam banyak perkara dari orang lain hingga mereka lupa bahawa hanya Allah saja yang bersifat maha besar.
9. Ujub dan suka bangga diri
Perbuatan ini ada unsur megah dan sombong dengan kelebihan dan kepandaian yang dikurniakan Allah. Rasa bersyukur tidak ada lagi dalam diri kerana telah diselaputi perasaan ego.
10. Gemarkan pujian atau riak
Manusia jenis ini suka meminta dipuji dalam setiap perkara yang dilakukan. Sikap baiknya, jasa dan baktinya mahu dikenang sampai bila-bila. Ini jelas membayangkan bahawa sikap baiknya selama ini, tidak diiringi dengan kejujuran dan keikhlasan.
Sepuluh sikap yang dicela Allah ini, jika diamalkan, akan termasukdalam kategori melakukan dosa besar.
1. Gelojoh ketika makan
Dalam erti kata lain, seseorang yang kuat dan tidak bersopan ketika makan. Sikap ini juga meliputi maksud makan terlalu kenyang, menyediakan makanan dalam jumlah yang berlebihan, yang akhirnya membawa kepada pembaziran.
2. Banyak bercakap
Allah mencela manusia yang suka bercakap perkara yang sia-sia, fitnah memfitnah, umpat keji dan kata mengata kerana semua jenis percakapan itu menjurus kepada permusuhan dan perbalahan sesama manusia.
3. Suka marah-marah
Kemarahan boleh membuat seseorang itu bertindak di luar batas kemanusiaan. Perbuatan marah akan diikuti dengan maki hamun, mengherdik dan perkelahian yang boleh mengakibatkan kecederaan atau pembunuhan.
4. Hasad dengki
Seseorang yang bersifat dengki sanggup melakukan apa saja dalam bentuk kejahatan atau jenayah. Perbuatan menipu dan sanggup memusnah hidup orang lain adalah antara sifat keji yang lahir dari perasaan hasad dengki. Rasulullah bersabda: ‘Dengki itu memakan segala kebaikan’ (riwayat Muslim).
5. Kedekut & bakhil
Rezeki yang Allah kurniakan lebih suka disimpan hingga bertimbun banyaknya. Sifat kedekut menghijab (menutup) seseorang dari membelanjakan sebahagian dari hartanya ke jalan kebaikan termasuk menderma, membuat kebajikan kejalan Allah dan membantu orang yang memerlukan.
6. Bermegah-megah
Ia termasuk sikap suka status atau jawatan, gelaran dan menerima sanjungan.
7. Cintakan dunia
Terlalu menghambakan diri kepada perkara duniawi hingga melupakan tuntutan ukhrawi. Rasulullah bersabda: “Bekerjalah kamu di dunia seolah-olah kamu akan hidup seribu tahun, dan beramallah kamu untuk akhirat seolah-olah kamu akan mati esok hari.” (riwayat Bukhari dan Muslim).
8. Ego atau sombong
Sifat membuat seseorang merasakan dirinya mempunyai kelebihan dalam banyak perkara dari orang lain hingga mereka lupa bahawa hanya Allah saja yang bersifat maha besar.
9. Ujub dan suka bangga diri
Perbuatan ini ada unsur megah dan sombong dengan kelebihan dan kepandaian yang dikurniakan Allah. Rasa bersyukur tidak ada lagi dalam diri kerana telah diselaputi perasaan ego.
10. Gemarkan pujian atau riak
Manusia jenis ini suka meminta dipuji dalam setiap perkara yang dilakukan. Sikap baiknya, jasa dan baktinya mahu dikenang sampai bila-bila. Ini jelas membayangkan bahawa sikap baiknya selama ini, tidak diiringi dengan kejujuran dan keikhlasan.
Sepuluh sikap yang dicela Allah ini, jika diamalkan, akan termasukdalam kategori melakukan dosa besar.
Keutamaan Shloat tahajud dan Dhuha
Solat adalah suatu telekomunikasi yang paling efektif untuk seorang
hamba kepada allah SWT, karena solatpun sendiri berartikan do’a secara
bahasa arab, dan klo secara syariat adalah suatu pekerjaan yang di mulai
dengan takbir dan di akhiri dengan salam dengan diisi dzikir-dzikir di
dalamnya, tidak di dirikan sholat kecuali maksud dari hal tersebut
adalah untuk berzikir kepada allah SWT, seperti apa yang di firmankan
oleh allah SWT dalam al-furqon:
{إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي } [طه : 14]
Artinya: (sesungguhnya aku allah tidak ada tuhan kecuali aku, maka sembahlah aku dan kerjakanlah solat hanya untuk mengingatku (dzikir))( QS: toha : 14)
Sholat sendiri terbagi menjadi dua :
- Sholat wajib: Dari pada sholat yang wajib adalah dzuhur, ashar, maghrib, isya’, subuh, semua ini adalah wajib bagi siapa saja, siapapun tidak melakukan sholat-sholat ini maka dia telah keluar dari islam, selama manusia masih mempunyai akal maka wajib bagi orang tersebut untuk melakukan sholat ini, apapun alasanya bagi kaum muslimin dan muslimat haram untuk meninggalkan sholat wajib.
- Sholat sunnah: solat sunnah begitu banyak salah satunya adalah sholat malam (tahajjud) dan sholat dhuha.
Sholat tahajjud: adalah solat yang di lakukan pada malam setelah tidur, telah bersabda rasullah SAW dalam haditsnya:
أفضل الصلاة بعد المكتوبة صلاة الليل
Artinya : paling afdholnya sholat setelah sholat yang di wajibkan adalah sholat malam (tahajjud).
فضل صلاة الليل على صلاة النهار كفضل صدقة السر على العلانية
Artinya : keafdholan sholat malam di bandingkan sholat di siang hari sama halnya perbandingan sodaqoh secara sembunyi-sembunyi dan sodaqoh secara terang-terangan.
Tentu saja sodaqoh secara sembunyi-sembunyi lebih afdhol dari pada sodaqoh secara terang-terangan 70 kali lipat, dan bersabda juga rasullah SAW dalam hadisnya yang lain:
عليكم بقيام الليل فإنه دأب الصالحين قبلكم، ومقربة لكم إلى ربكم، ومكفرة للسيئات ومنهاة عن الإثم ومطردة للداء عن الجسد
Artinya : seyogyanya bagi kalian semua umat mukminin untuk sholat malam sesungguhnya hal tersebut pekerjaan orang-orang soleh sebelum kalian dan hal tersebut mendekatkan kalian semua kepada tuhan kalian dan melebur dosa kalian dan menahan kalian dari dosa dan juga menolak dari penyakit hasud.
Ketahuilah barang siapa yang sholat setelah solat isya’ maka dia telah sholat malam dan konon para ulama dulu (salaf) apabila mereka kesusahan untuk sholat tahajjud maka dia solat setelah sholat isya’ (qiyamul lail), akan tetapi jikalau seorang mukmin bisa melakukanya setelah bangun tidur maka hal tersebut seperti apa yang di suruh oleh rasullah di dalam firman allah yakni sholat tahajjud yang sebenarnya:
{وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا} [الإسراء : 79]
Artinya : dan dari malam-malam tahajjudlah kalian sebagai sholat sunnah bagi kalian, semoga allah membangkitkan kalian sedangkan kalian mencapai derajat yang terpuji.
Dan dari hadist nabi :
إن الله يعجب من العبد إذا قام من على فراشه وبين أهله إلى صلاته ويباهي به ملائكته ويقبل عليه بوجهه الكريم
.
Artinya : Allah sangat kagum dengan seorang hambanya yang bangun malam bangun dari kasurnya untuk sholat kepada allah sedangkan diantaranya terdapat keluarganya yang sedang tidur, malaikat sangat bangga dengan hamba tersebut dan pastilah diterima amal tersebut oleh allah SWT.
Terlebih-lebih jikalau orang mukmin tersebut menuntut ilmu agama maka sangat di anjurkan bagi orang tersebut.
Dan dari pada kemulian sholat tahajjud sesungguhnya terdapat dimalam hari waktu mustahab seperti di dalam hadis nabi SAW :
قال، صلى الله عليه وسلم: “إن في الليل لساعة لا يوافقها عبد مسلم يسأل الله خيراً من أمر الدنيا والآخرة إلا أعطاه إياه وذلك كل ليلة” أخرجه مسلم
.
Artinya: sesungguhnya di malam hari terdapat suatu waktu yang dimana waktu tersebut jikalau orang mukmin meminta kepada allah kebaikan dari masalah dunia ataupun akherat maka pasti allah akan memberinya, dan hal ini terdapat pada setiap malam. (HR: MUSLIM)
Terdapat juga di dalam kitab-kitab terdahulu allah berfirman (telah berbohong orang yang mengaku cinta kepada aku akan tetapi jika datang malam dia tidur meninggalkanku, bukankah orang yang cinta suka jikalau berduan dengan kekasihnya.
Berkata syekh ismail aljabaruti: terkumpul semua kebaikan di dalam malam, tidak di angkat seorang wali menjadi wali kecuali di malam hari.
Dan berkata juga habib Abdullah bin abu bakar alaydrose : barang siapa yang meninginkan kebersihan hati maka baginya bermunajat dan menangis di malam hari.
Bersabda rasullah SAW : sesungguhnya allah setiap malam turun di langit tepat sepertiga malam terakhir seraya berkata – adakah siapa yang berdoa aku akan mengijabahi, adakah orang yang beristighfar di malam ini maka aku akan mengampuni, adakah orang yang meminta malam mini aku akan memberinya, adakah yang orang yang bertobat malam ini aku akan menerima tobatnya- sampai terbitnya fajar (subuh).
Berkata imam Abdullah alhaddad: Jikalau tidak ada hadits tentang kemulian solat tahajjud kecuali ini cukuplah hanya hadits ini mengungkap kemulian bangun malam.
Sungguh indahnya solat malam (tahajjud) sehingga begitu banyaknya hadits nabi yang mengungkap fadhilah dan keutamaan sholat ini sampai-sampai sebagain kaum solihin berkata : jikalau penduduk surga itu dalam keadaan seperti kita sekarang ini yakni solat malam (tahajjud) maka dia akan merasakan kenikmatan melebihi apa yang dia rasakan di surga, dan berkata solihin : orang yang sering solat malam (tahajjud) di dalam kebiasaanya solat malam, dia lebih merasakan kenikmatan hal tersebut dari pada orang yang maksiat menikmati dosanya, berkata solihin : semenjak 40 tahun tidak ada sesuatu yang membuat aku risau kecuali terbitnya fajar, kenikmatan ini tidak dapat digapai kecuali setelah kebiasaan dan setelah jerih payah yang sangat kuat untuk bangun di malam hari seperti berkata utbah : bersusah payah aku selama 20 tahun untuk beribadah di malam hari dan aku dapat menikmati hasil dari jerih payahku selama 20 tahun yaitu 20 tahun selanjutnya.
Berapa roka’atkah kita solat tahajjud dan surat apakah yang kita baca dalam solat tersebut?.
Ketahuilah bahwa dulu rasullah tidak melakukan suatu yang khusus dalam solat ini, dan adapun yang bagus adalah anda membaca surat secara berurutan sampai khatam di dalam satu bulan kurang atau lebih tergantung semangat anda, adapun bilanganya adalah rasullah paling banyak di riwayatkan solat 13 roka’at, terkadang hanya 9 roka’at dan yang paling sering rasullah melakukanya adalah 11 roka’at.
KESIMPULAN :
Seyogyanya bagi anda dan di sunnahkan jika anda bangun dari tidur untuk mengusap muka anda dengan tangan anda sambil berdoa :
الحمد لله الذي أحيانا بعد ما أماتنا وإليه النشور
Artinya : Segala puji bagi allah yang telah menghidupkan kami setelah mati, dan kepadanya kita di kumpulkan.
Kemudian membaca :
{إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ } [آل عمران : 190]
Sampai akhir surat, kemudian bersiwak dan berwudu’ dengan sempurna, kemudian solat 2 roka’at yang sangat ringan singkat, kemudian solat 8 roka’at secara panjang (dengan memanjangkan bacaanya surat-surat yang panjang dan tasbih-tasbihnya juga di tambah yang banyak) dengan cara 2 roka’at salam atau 4 roka’at salam. Jikalau anda masih mempunyai semangat maka tambahkanlah sholat witir 3 roka’at dengan satu salam ataupun 2 salam boleh, pada roka’at pertama membaca :
بسم الله الرحمن الرحيم
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى (1) الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى (2) وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى (3) وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعَى (4) فَجَعَلَهُ غُثَاءً أَحْوَى (5) سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنْسَى (6) إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَمَا يَخْفَى (7) وَنُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَى (8) فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى (9) سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَى (10) وَيَتَجَنَّبُهَا الْأَشْقَى (11) الَّذِي يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَى (12) ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَى (13) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى (14) وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى (15) } [الأعلى : 1 - 15]
Roka’at kedua membaca :
بسم الله الرحمن الرحيم
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)
Pada roka’at ketiga membaca :
بسم الله الرحمن الرحيم
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)
بسم الله الرحمن الرحيم
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ (1) مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (2) وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ (3) وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ (4) وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ (5)
{بسم الله الرحمن الرحيم
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (1) مَلِكِ النَّاسِ (2) إِلَهِ النَّاسِ (3) مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ (4) الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ (5) مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ (6)
Inilah cara tahajjud yang di laksanakan ketika rasullah masih hidup ingatlah hal ini, hanya allah yang maha tahu dan mendengar.
Sholat dhuha : adalah solat yang di lakukan setelah terbitnya matahari sampai tergelincirnya matahari, hendaknya bagi kita untuk selalu menjaga sholat tersebut, paling sedikitnya 2 roka’at dan paling banyaknya 8 roka’at sebagian ulama mengatakan 12 roka’at, keutama’anya sangat besar, dan waktu yang paling bagus adalah seperempat dari siang, bersabda rasullah SAW dalam haditsnya :
قال عليه الصلاة والسلام : يصبح على كل سلامي من أحدكم صدقة، وكل تسبيحة صدقة ، وكل تكبيرة صدقة، وأمر بالمعروف صدقة، وكل تهليلة صدقة، ونهي عن المنكر صدقة، ويجزئ من ذلك ركعتان يركعهما من الضحى
Artinya : dari setiap persendian kalian atasnya sodaqoh, setiap tasbih dari kalian adalah sodaqoh, setiap takbir dari kalian adalah sodaqoh, menyuruh kepada kebaikan adalah sodaqoh, dan setiap tahlil sodaqoh, melarang kemungkaran adalah sodaqoh, dan mencukupi itu semua dengan hanya solat dhuha.
Bersabda juga rasullah SAW :
وقال عليه الصلاة والسلام : من حافظ على شفعة الضحى غفرت له ذنوبه ولو كانت مثل زبد البحر
Artinya : barang siapa yang menjaga dua roka’at dhuha maka allah akan mengampuni dosanya walaupun seperti banyaknya busa di laut.
Dhuha juga di namakan solat awwabin seperti sholat di antara maghrib dan isya’, adapun awwab (berartikan kembali kepada allah ketika lupa), dua waktu ini di namakan solat awwabin di karenakan banyak orang lupa dengan dua alasan :
- Pertama : karena sibuknya manusia di dalam waktu ini (dhuha dan di antara maghrib dan isya’) kepada dunia, maka di ingatkanlah dengan sholat
- Kedua : karena sibuknya manusia di dalam waktu ini (dhuha dan di antara maghrib dan isya’) pulang ke rumah untuk makan, dan barang siapa yang pulang kepada allah yakni ingat kepada allah pada waktu ini maka dia akan menyandang kedudukan yang tinggi di sisi allah.
.
REFERENSI KITAB:
رسالة المعاونة والمظاهرة والمؤازرة – (1 / 16)
(وعليك) بصلاة الليل فقد قال عليه السلام: “أفضل الصلاة بعد المكتوبة صلاة الليل” وقد قال عليه الصلاة والسلام: “فضل صلاة الليل على صلاة النهار كفضل صدقة السر على العلانية”. وقد ورد أن صدقة السر تضاعف على صدقة العلانية بسبعين ضعفاً، وقال عليه الصلاة والسلام: “عليكم بقيام الليل فإنه دأب الصالحين قبلكم، ومقربة لكم إلى ربكم، ومكفرة للسيئات ومنهاة عن الإثم ومطردة للداء عن الجسد.
(واعلم) أن من صلى بعد العشاء فقد قام من الليل وقد كان بعض السلف يصلي ورده من أول الليل ولكن في القيام بعد النوم إرغام للشيطان ومجاهدة للنفس وسر عجيب، وهو التهجد الذي أمر به الله ورسوله في قوله (ومن الليل فتهجد به نافلة لك) وفي المأثور: إن الله يعجب من العبد إذا قام من على فراشه وبين أهله إلى صلاته ويباهي به ملائكته ويقبل عليه بوجهه الكريم.
(1/15)
رسالة المعاونة والمظاهرة والمؤازرة – (1 / 17)
(واعلم) أنه يَقْبُح بطالب الآخرة أن لا يكون له قيام بالليل. كيف والمريد لا يزال طالباً للمزيد متعرضاً للنفحات على دوام الأوقات.
وقد قال، صلى الله عليه وسلم: “إن في الليل لساعة لا يوافقها عبد مسلم يسأل الله خيراً من أمر الدنيا والآخرة إلا أعطاه إياه وذلك كل ليلة” أخرجه مسلم.
وفي بعض كتب الله المنزلة: كذب من ادعى محبتي فإذا جنه الليل نام عني أليس كل محب يحب الخلوة بحبيبه.
وقال الشيخ إسماعيل بن إبراهيم الجبرتي رحمه الله جمع الخير كله في الليل وما عقدت لولي ولاية إلا بالليل.
وقال سيدي العيدروس عبد الله بن أبي بكر من أراد الصفاء الرباني فعليه بالانكسار في جوف الليل.
وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ينزل الله كل ليلة إلى السماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل الأخير فيقول: هل من داع فأستجيبَ له، هل من مستغفر فأغفر له، هل من سائل فأعطيه، هل من تائب فأتوب عليه حتى يطلع الفجر”. ولو لم يرد في الحث على قيام الليل غير هذا الحديث لكفى.
كيف والكتاب والسنة طافحان بالترغيب فيه والحث عليه، وللعارفين بالله في القيام بالليل منازلات شريفة، وأذواق لطيفة يجدونها في قلوبهم من نعيم القرب من الله، ولذة الأنس به وطيب المناجاة والمحادثة مع الله، حتى قال بعضهم: إن كان أهل الجنة في مثل ما نحن فيه إنهم لفي عيش طيب، وقال آخر: أهل الليل في ليلهم ألذ من أهل اللهو في لهوهم، وقال آخر منذ أربعين سنة ما غمني شيء إلا طلوع الفجر، وهذا النعيم لا يكون إلا بعد تجرع المرارات، وتحمل المشقات في القيام، كما قال عتبة الغلام: كابدت قيام الليل عشرين سنة وتنعمت به عشرين سنة أخرى.
(فإن قلت) ماذا أقرأ في صلاتي بالليل وكم ركعات ينبغي أن أصلي فاعلم أن سول الله صلى الله عليه وسلم لم يواظب في تهجده على قراءة شيء مخصوص، ومن الحسن أن تتبع القرآن فتقرأه شيئاً فشيئاً في قيامك حتى تختم في شهر أو أقل أو أكثر حسب نشاطك.
رسالة المعاونة والمظاهرة والمؤازرة – (1 / 18)
وأما عدد الركعات فأكثر ما روي من قيام رسول الله صلى الله عليه وسلم ثلاث عشرة ركعة وورد الاقتصار على تسع وسبع وأكثر ما ورد عنه صلى الله عليه وسلم المواظبة عليه إحدى عشرة ركعة.
ويتلخص من مجموع الأحاديث أنه ينبغي لك ويستحب إذا قمت من النوم أن تمسح النوم عن وجهك بيدك وتقول: الحمد لله الذي أحيانا بعد ما أماتنا وإليه النشور، وتقرأ (إن في خلق السماوات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب) إلى آخر السورة، ثم تستاك وتتوضأ وضوءاً كاملاً، ثم تصلي ركعتين خفيفتين ثم تصلي بعدهما ثمان ركعات تطولهن تسلم من كل ركعتين إن شئت أو من كل أربع أو تجمعهن بتسليمة واحدة فكل ذلك قد ورد، ثم إن رأيت أنه بقي عندك نشاط فتنفل ما بدا لك، ثم صل ثلاث ركعات بنية الوتر بتسليمة أو تسليمتين وتقرأ في الأولى سبح اسم ربك الأعلى(1) وفي الثانية قل يا أيها الكافرون(2) وفي الثالثة الإخلاص والمعوذتين، ولا تحسب أن الوتر هو إحدى عشرة شيء وهذه الركعات المذكورة في هذا لسياق شيء آخر كلاً إنه لم يرو عن قيام رسول الله صلى الله عليه وسلم غير ما قصصناه عليك فاعلم ذلك والله سميع عليم.
النصائح الدينية و الوصايا الإيمانية – (1 / 75)
ومن السنة: المحافظة على صلاة الضحى، وأقلها ركعتان، وأكثرها ثمان ركعات.وقيل :أثنتا عشرة.وفضلها كبير .ووقتها الأفضل: أن تصلى عند مضي قريب من ربع النهار، قال عليه الصلاة والسلام : (( يصبح على كل سلامي من أحدكم صدقة، وكل تسبيحة صدقة ، وكل تكبيرة صدقة، وأمر بالمعروف صدقة، وكل تهليلة صدقة، ونهي عن المنكر صدقة، ويجزئ من ذلك ركعتان يركعهما من الضحى))
وقال عليه الصلاة والسلام : من حافظ على شفعة الضحى غفرت له ذنوبه ولو كانت مثل زبد البحر))و((الشفعة)): هي الركعتان، و((السلامى)): هو المفصل، وفي كل إنسان ثلاثمائة وستون مفصلاً بعدد أيام السنة .
وتسمى صلاة الضحى صلاة الأوبين، كالصلاة بين العشاءين. و((الأواب)) هو الرجاع إلى الله في أوقات الغفلة . وهذان الوقتان – أعني وقت صلاة الضحى، وما بين العشاءين – من أوقات الغفلة.
أما الأول: فلإكباب الناس فيه على المعايش والمكاسب الدنيوية.
وأما الثاني :فلا شتغال الناس فيه بالرجوع إلى المنازل وتناول الأطعمة. فمن رجع إلى الله واستيقظ لطاعته في هذه الأوقات كان عنده بمكان .
{إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي } [طه : 14]
Artinya: (sesungguhnya aku allah tidak ada tuhan kecuali aku, maka sembahlah aku dan kerjakanlah solat hanya untuk mengingatku (dzikir))( QS: toha : 14)
Sholat sendiri terbagi menjadi dua :
- Sholat wajib: Dari pada sholat yang wajib adalah dzuhur, ashar, maghrib, isya’, subuh, semua ini adalah wajib bagi siapa saja, siapapun tidak melakukan sholat-sholat ini maka dia telah keluar dari islam, selama manusia masih mempunyai akal maka wajib bagi orang tersebut untuk melakukan sholat ini, apapun alasanya bagi kaum muslimin dan muslimat haram untuk meninggalkan sholat wajib.
- Sholat sunnah: solat sunnah begitu banyak salah satunya adalah sholat malam (tahajjud) dan sholat dhuha.
Sholat tahajjud: adalah solat yang di lakukan pada malam setelah tidur, telah bersabda rasullah SAW dalam haditsnya:
أفضل الصلاة بعد المكتوبة صلاة الليل
Artinya : paling afdholnya sholat setelah sholat yang di wajibkan adalah sholat malam (tahajjud).
فضل صلاة الليل على صلاة النهار كفضل صدقة السر على العلانية
Artinya : keafdholan sholat malam di bandingkan sholat di siang hari sama halnya perbandingan sodaqoh secara sembunyi-sembunyi dan sodaqoh secara terang-terangan.
Tentu saja sodaqoh secara sembunyi-sembunyi lebih afdhol dari pada sodaqoh secara terang-terangan 70 kali lipat, dan bersabda juga rasullah SAW dalam hadisnya yang lain:
عليكم بقيام الليل فإنه دأب الصالحين قبلكم، ومقربة لكم إلى ربكم، ومكفرة للسيئات ومنهاة عن الإثم ومطردة للداء عن الجسد
Artinya : seyogyanya bagi kalian semua umat mukminin untuk sholat malam sesungguhnya hal tersebut pekerjaan orang-orang soleh sebelum kalian dan hal tersebut mendekatkan kalian semua kepada tuhan kalian dan melebur dosa kalian dan menahan kalian dari dosa dan juga menolak dari penyakit hasud.
Ketahuilah barang siapa yang sholat setelah solat isya’ maka dia telah sholat malam dan konon para ulama dulu (salaf) apabila mereka kesusahan untuk sholat tahajjud maka dia solat setelah sholat isya’ (qiyamul lail), akan tetapi jikalau seorang mukmin bisa melakukanya setelah bangun tidur maka hal tersebut seperti apa yang di suruh oleh rasullah di dalam firman allah yakni sholat tahajjud yang sebenarnya:
{وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا} [الإسراء : 79]
Artinya : dan dari malam-malam tahajjudlah kalian sebagai sholat sunnah bagi kalian, semoga allah membangkitkan kalian sedangkan kalian mencapai derajat yang terpuji.
Dan dari hadist nabi :
إن الله يعجب من العبد إذا قام من على فراشه وبين أهله إلى صلاته ويباهي به ملائكته ويقبل عليه بوجهه الكريم
.
Artinya : Allah sangat kagum dengan seorang hambanya yang bangun malam bangun dari kasurnya untuk sholat kepada allah sedangkan diantaranya terdapat keluarganya yang sedang tidur, malaikat sangat bangga dengan hamba tersebut dan pastilah diterima amal tersebut oleh allah SWT.
Terlebih-lebih jikalau orang mukmin tersebut menuntut ilmu agama maka sangat di anjurkan bagi orang tersebut.
Dan dari pada kemulian sholat tahajjud sesungguhnya terdapat dimalam hari waktu mustahab seperti di dalam hadis nabi SAW :
قال، صلى الله عليه وسلم: “إن في الليل لساعة لا يوافقها عبد مسلم يسأل الله خيراً من أمر الدنيا والآخرة إلا أعطاه إياه وذلك كل ليلة” أخرجه مسلم
.
Artinya: sesungguhnya di malam hari terdapat suatu waktu yang dimana waktu tersebut jikalau orang mukmin meminta kepada allah kebaikan dari masalah dunia ataupun akherat maka pasti allah akan memberinya, dan hal ini terdapat pada setiap malam. (HR: MUSLIM)
Terdapat juga di dalam kitab-kitab terdahulu allah berfirman (telah berbohong orang yang mengaku cinta kepada aku akan tetapi jika datang malam dia tidur meninggalkanku, bukankah orang yang cinta suka jikalau berduan dengan kekasihnya.
Berkata syekh ismail aljabaruti: terkumpul semua kebaikan di dalam malam, tidak di angkat seorang wali menjadi wali kecuali di malam hari.
Dan berkata juga habib Abdullah bin abu bakar alaydrose : barang siapa yang meninginkan kebersihan hati maka baginya bermunajat dan menangis di malam hari.
Bersabda rasullah SAW : sesungguhnya allah setiap malam turun di langit tepat sepertiga malam terakhir seraya berkata – adakah siapa yang berdoa aku akan mengijabahi, adakah orang yang beristighfar di malam ini maka aku akan mengampuni, adakah orang yang meminta malam mini aku akan memberinya, adakah yang orang yang bertobat malam ini aku akan menerima tobatnya- sampai terbitnya fajar (subuh).
Berkata imam Abdullah alhaddad: Jikalau tidak ada hadits tentang kemulian solat tahajjud kecuali ini cukuplah hanya hadits ini mengungkap kemulian bangun malam.
Sungguh indahnya solat malam (tahajjud) sehingga begitu banyaknya hadits nabi yang mengungkap fadhilah dan keutamaan sholat ini sampai-sampai sebagain kaum solihin berkata : jikalau penduduk surga itu dalam keadaan seperti kita sekarang ini yakni solat malam (tahajjud) maka dia akan merasakan kenikmatan melebihi apa yang dia rasakan di surga, dan berkata solihin : orang yang sering solat malam (tahajjud) di dalam kebiasaanya solat malam, dia lebih merasakan kenikmatan hal tersebut dari pada orang yang maksiat menikmati dosanya, berkata solihin : semenjak 40 tahun tidak ada sesuatu yang membuat aku risau kecuali terbitnya fajar, kenikmatan ini tidak dapat digapai kecuali setelah kebiasaan dan setelah jerih payah yang sangat kuat untuk bangun di malam hari seperti berkata utbah : bersusah payah aku selama 20 tahun untuk beribadah di malam hari dan aku dapat menikmati hasil dari jerih payahku selama 20 tahun yaitu 20 tahun selanjutnya.
Berapa roka’atkah kita solat tahajjud dan surat apakah yang kita baca dalam solat tersebut?.
Ketahuilah bahwa dulu rasullah tidak melakukan suatu yang khusus dalam solat ini, dan adapun yang bagus adalah anda membaca surat secara berurutan sampai khatam di dalam satu bulan kurang atau lebih tergantung semangat anda, adapun bilanganya adalah rasullah paling banyak di riwayatkan solat 13 roka’at, terkadang hanya 9 roka’at dan yang paling sering rasullah melakukanya adalah 11 roka’at.
KESIMPULAN :
Seyogyanya bagi anda dan di sunnahkan jika anda bangun dari tidur untuk mengusap muka anda dengan tangan anda sambil berdoa :
الحمد لله الذي أحيانا بعد ما أماتنا وإليه النشور
Artinya : Segala puji bagi allah yang telah menghidupkan kami setelah mati, dan kepadanya kita di kumpulkan.
Kemudian membaca :
{إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ } [آل عمران : 190]
Sampai akhir surat, kemudian bersiwak dan berwudu’ dengan sempurna, kemudian solat 2 roka’at yang sangat ringan singkat, kemudian solat 8 roka’at secara panjang (dengan memanjangkan bacaanya surat-surat yang panjang dan tasbih-tasbihnya juga di tambah yang banyak) dengan cara 2 roka’at salam atau 4 roka’at salam. Jikalau anda masih mempunyai semangat maka tambahkanlah sholat witir 3 roka’at dengan satu salam ataupun 2 salam boleh, pada roka’at pertama membaca :
بسم الله الرحمن الرحيم
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى (1) الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى (2) وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى (3) وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعَى (4) فَجَعَلَهُ غُثَاءً أَحْوَى (5) سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنْسَى (6) إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَمَا يَخْفَى (7) وَنُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَى (8) فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى (9) سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَى (10) وَيَتَجَنَّبُهَا الْأَشْقَى (11) الَّذِي يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَى (12) ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَى (13) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى (14) وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى (15) } [الأعلى : 1 - 15]
Roka’at kedua membaca :
بسم الله الرحمن الرحيم
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)
Pada roka’at ketiga membaca :
بسم الله الرحمن الرحيم
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)
بسم الله الرحمن الرحيم
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ (1) مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (2) وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ (3) وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ (4) وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ (5)
{بسم الله الرحمن الرحيم
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (1) مَلِكِ النَّاسِ (2) إِلَهِ النَّاسِ (3) مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ (4) الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ (5) مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ (6)
Inilah cara tahajjud yang di laksanakan ketika rasullah masih hidup ingatlah hal ini, hanya allah yang maha tahu dan mendengar.
Sholat dhuha : adalah solat yang di lakukan setelah terbitnya matahari sampai tergelincirnya matahari, hendaknya bagi kita untuk selalu menjaga sholat tersebut, paling sedikitnya 2 roka’at dan paling banyaknya 8 roka’at sebagian ulama mengatakan 12 roka’at, keutama’anya sangat besar, dan waktu yang paling bagus adalah seperempat dari siang, bersabda rasullah SAW dalam haditsnya :
قال عليه الصلاة والسلام : يصبح على كل سلامي من أحدكم صدقة، وكل تسبيحة صدقة ، وكل تكبيرة صدقة، وأمر بالمعروف صدقة، وكل تهليلة صدقة، ونهي عن المنكر صدقة، ويجزئ من ذلك ركعتان يركعهما من الضحى
Artinya : dari setiap persendian kalian atasnya sodaqoh, setiap tasbih dari kalian adalah sodaqoh, setiap takbir dari kalian adalah sodaqoh, menyuruh kepada kebaikan adalah sodaqoh, dan setiap tahlil sodaqoh, melarang kemungkaran adalah sodaqoh, dan mencukupi itu semua dengan hanya solat dhuha.
Bersabda juga rasullah SAW :
وقال عليه الصلاة والسلام : من حافظ على شفعة الضحى غفرت له ذنوبه ولو كانت مثل زبد البحر
Artinya : barang siapa yang menjaga dua roka’at dhuha maka allah akan mengampuni dosanya walaupun seperti banyaknya busa di laut.
Dhuha juga di namakan solat awwabin seperti sholat di antara maghrib dan isya’, adapun awwab (berartikan kembali kepada allah ketika lupa), dua waktu ini di namakan solat awwabin di karenakan banyak orang lupa dengan dua alasan :
- Pertama : karena sibuknya manusia di dalam waktu ini (dhuha dan di antara maghrib dan isya’) kepada dunia, maka di ingatkanlah dengan sholat
- Kedua : karena sibuknya manusia di dalam waktu ini (dhuha dan di antara maghrib dan isya’) pulang ke rumah untuk makan, dan barang siapa yang pulang kepada allah yakni ingat kepada allah pada waktu ini maka dia akan menyandang kedudukan yang tinggi di sisi allah.
.
REFERENSI KITAB:
رسالة المعاونة والمظاهرة والمؤازرة – (1 / 16)
(وعليك) بصلاة الليل فقد قال عليه السلام: “أفضل الصلاة بعد المكتوبة صلاة الليل” وقد قال عليه الصلاة والسلام: “فضل صلاة الليل على صلاة النهار كفضل صدقة السر على العلانية”. وقد ورد أن صدقة السر تضاعف على صدقة العلانية بسبعين ضعفاً، وقال عليه الصلاة والسلام: “عليكم بقيام الليل فإنه دأب الصالحين قبلكم، ومقربة لكم إلى ربكم، ومكفرة للسيئات ومنهاة عن الإثم ومطردة للداء عن الجسد.
(واعلم) أن من صلى بعد العشاء فقد قام من الليل وقد كان بعض السلف يصلي ورده من أول الليل ولكن في القيام بعد النوم إرغام للشيطان ومجاهدة للنفس وسر عجيب، وهو التهجد الذي أمر به الله ورسوله في قوله (ومن الليل فتهجد به نافلة لك) وفي المأثور: إن الله يعجب من العبد إذا قام من على فراشه وبين أهله إلى صلاته ويباهي به ملائكته ويقبل عليه بوجهه الكريم.
(1/15)
رسالة المعاونة والمظاهرة والمؤازرة – (1 / 17)
(واعلم) أنه يَقْبُح بطالب الآخرة أن لا يكون له قيام بالليل. كيف والمريد لا يزال طالباً للمزيد متعرضاً للنفحات على دوام الأوقات.
وقد قال، صلى الله عليه وسلم: “إن في الليل لساعة لا يوافقها عبد مسلم يسأل الله خيراً من أمر الدنيا والآخرة إلا أعطاه إياه وذلك كل ليلة” أخرجه مسلم.
وفي بعض كتب الله المنزلة: كذب من ادعى محبتي فإذا جنه الليل نام عني أليس كل محب يحب الخلوة بحبيبه.
وقال الشيخ إسماعيل بن إبراهيم الجبرتي رحمه الله جمع الخير كله في الليل وما عقدت لولي ولاية إلا بالليل.
وقال سيدي العيدروس عبد الله بن أبي بكر من أراد الصفاء الرباني فعليه بالانكسار في جوف الليل.
وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ينزل الله كل ليلة إلى السماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل الأخير فيقول: هل من داع فأستجيبَ له، هل من مستغفر فأغفر له، هل من سائل فأعطيه، هل من تائب فأتوب عليه حتى يطلع الفجر”. ولو لم يرد في الحث على قيام الليل غير هذا الحديث لكفى.
كيف والكتاب والسنة طافحان بالترغيب فيه والحث عليه، وللعارفين بالله في القيام بالليل منازلات شريفة، وأذواق لطيفة يجدونها في قلوبهم من نعيم القرب من الله، ولذة الأنس به وطيب المناجاة والمحادثة مع الله، حتى قال بعضهم: إن كان أهل الجنة في مثل ما نحن فيه إنهم لفي عيش طيب، وقال آخر: أهل الليل في ليلهم ألذ من أهل اللهو في لهوهم، وقال آخر منذ أربعين سنة ما غمني شيء إلا طلوع الفجر، وهذا النعيم لا يكون إلا بعد تجرع المرارات، وتحمل المشقات في القيام، كما قال عتبة الغلام: كابدت قيام الليل عشرين سنة وتنعمت به عشرين سنة أخرى.
(فإن قلت) ماذا أقرأ في صلاتي بالليل وكم ركعات ينبغي أن أصلي فاعلم أن سول الله صلى الله عليه وسلم لم يواظب في تهجده على قراءة شيء مخصوص، ومن الحسن أن تتبع القرآن فتقرأه شيئاً فشيئاً في قيامك حتى تختم في شهر أو أقل أو أكثر حسب نشاطك.
رسالة المعاونة والمظاهرة والمؤازرة – (1 / 18)
وأما عدد الركعات فأكثر ما روي من قيام رسول الله صلى الله عليه وسلم ثلاث عشرة ركعة وورد الاقتصار على تسع وسبع وأكثر ما ورد عنه صلى الله عليه وسلم المواظبة عليه إحدى عشرة ركعة.
ويتلخص من مجموع الأحاديث أنه ينبغي لك ويستحب إذا قمت من النوم أن تمسح النوم عن وجهك بيدك وتقول: الحمد لله الذي أحيانا بعد ما أماتنا وإليه النشور، وتقرأ (إن في خلق السماوات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب) إلى آخر السورة، ثم تستاك وتتوضأ وضوءاً كاملاً، ثم تصلي ركعتين خفيفتين ثم تصلي بعدهما ثمان ركعات تطولهن تسلم من كل ركعتين إن شئت أو من كل أربع أو تجمعهن بتسليمة واحدة فكل ذلك قد ورد، ثم إن رأيت أنه بقي عندك نشاط فتنفل ما بدا لك، ثم صل ثلاث ركعات بنية الوتر بتسليمة أو تسليمتين وتقرأ في الأولى سبح اسم ربك الأعلى(1) وفي الثانية قل يا أيها الكافرون(2) وفي الثالثة الإخلاص والمعوذتين، ولا تحسب أن الوتر هو إحدى عشرة شيء وهذه الركعات المذكورة في هذا لسياق شيء آخر كلاً إنه لم يرو عن قيام رسول الله صلى الله عليه وسلم غير ما قصصناه عليك فاعلم ذلك والله سميع عليم.
النصائح الدينية و الوصايا الإيمانية – (1 / 75)
ومن السنة: المحافظة على صلاة الضحى، وأقلها ركعتان، وأكثرها ثمان ركعات.وقيل :أثنتا عشرة.وفضلها كبير .ووقتها الأفضل: أن تصلى عند مضي قريب من ربع النهار، قال عليه الصلاة والسلام : (( يصبح على كل سلامي من أحدكم صدقة، وكل تسبيحة صدقة ، وكل تكبيرة صدقة، وأمر بالمعروف صدقة، وكل تهليلة صدقة، ونهي عن المنكر صدقة، ويجزئ من ذلك ركعتان يركعهما من الضحى))
وقال عليه الصلاة والسلام : من حافظ على شفعة الضحى غفرت له ذنوبه ولو كانت مثل زبد البحر))و((الشفعة)): هي الركعتان، و((السلامى)): هو المفصل، وفي كل إنسان ثلاثمائة وستون مفصلاً بعدد أيام السنة .
وتسمى صلاة الضحى صلاة الأوبين، كالصلاة بين العشاءين. و((الأواب)) هو الرجاع إلى الله في أوقات الغفلة . وهذان الوقتان – أعني وقت صلاة الضحى، وما بين العشاءين – من أوقات الغفلة.
أما الأول: فلإكباب الناس فيه على المعايش والمكاسب الدنيوية.
وأما الثاني :فلا شتغال الناس فيه بالرجوع إلى المنازل وتناول الأطعمة. فمن رجع إلى الله واستيقظ لطاعته في هذه الأوقات كان عنده بمكان .
Prasngka
Rasulullah SAW : ”Aku peringatkan kepada kalian tentang prasangka,
karena sesungguhnya prasangka adalah perkataan yang paling bohong, dan
janganlah kalian berusaha untuk mendapatkan informasi tentang kejelekan
dan mencari-cari kesalahan orang lain, jangan pula saling dengki, saling
benci, saling memusuhi, jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara”
(H.R Bukhari, no (6064) dan Muslim, no (2563).
“Barang siapa yang mengeluarkan fatwa tanpa ilmu yang cukup, maka ia akan dilaknat oleh malaikat rahmat dan azab serta dosa orang yang mengamalkan fatwanya akan dipikul olehnya”.
Jangan sampai anda merasa bahwa diri anda lebih baik dari seseorang apalagi sampai menyebabkan anda mencemoohnya karena kekhilafan yang ia lakukan. Disebutkan pada salah satu atsar (ucapan seorang ulama’ terdahulu):
“Barang siapa mencela saudaranya karena suatu dosa yang ia lakukan, tidaklah ia mati hingga terjerumus ke dalam dosa yang sama.”
Barang siapa yang menjaga dirinya untuk tidak mempermalukan orang lain, maka Allah akan mengampuni kesalahannya pada hari kiamat, dan barang siapa yang menahan kemarahannya terhadap orang lain, maka Allah akan menahan murka-Nya terhadapnya pada hari kiamat”
“Barang siapa yang mengeluarkan fatwa tanpa ilmu yang cukup, maka ia akan dilaknat oleh malaikat rahmat dan azab serta dosa orang yang mengamalkan fatwanya akan dipikul olehnya”.
Jangan sampai anda merasa bahwa diri anda lebih baik dari seseorang apalagi sampai menyebabkan anda mencemoohnya karena kekhilafan yang ia lakukan. Disebutkan pada salah satu atsar (ucapan seorang ulama’ terdahulu):
مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ مَنْ عَابَهُ بِهِ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ
“Barang siapa mencela saudaranya karena suatu dosa yang ia lakukan, tidaklah ia mati hingga terjerumus ke dalam dosa yang sama.”
Barang siapa yang menjaga dirinya untuk tidak mempermalukan orang lain, maka Allah akan mengampuni kesalahannya pada hari kiamat, dan barang siapa yang menahan kemarahannya terhadap orang lain, maka Allah akan menahan murka-Nya terhadapnya pada hari kiamat”
40 Kemulian wanita dimata Islam
Sejak Rasulullah SAW lahir ke dunia, wanita sangat dimuliakan
kedudukannya di mata Islam, tidak seperti jaman jahiliah dahulu bayi
wanita yang lahir harus dibunuh, Masya Allah..Berikut ini kami sampaikan
40 Hadist bagaimana Allah SWT memberikan tempat atau kedudukan wanita
baik di mata Allah SWT , suami, anak-anak, dan di hadapan manusia
lainnya..
semoga bermanfaat.tuk para wanita..
1. Wanita yang solehah (baik) itu lebih baik dari 70 orang pria yang soleh.
2. Barang siapa yang menggembirakan anak perempuannya, derajatnya seumpama orang yang senantiasa menangis karena takut pada Allah S.W.T. dan orang yang takut pada Allah S.W.T. akan diharamkan api neraka ke atas tubuhnya.
3. Barang siapa yang membawa hadiah (barang makanan dari pasar ke rumah) lalu diberikan kepada keluarganya, maka pahalanya seperti bersedekah.
4. Hendaklah mendahulukan anak perempuan daripada anak pria. Maka barang siapa yang menggembirakan anak perempuannya seolah- olah dia memerdekakan anak Nabi Ismail A.S.
5. Wanita yang tinggal bersama anak-anaknya akan tinggal bersama aku (Rasulullah S.A.W.) di dalam syurga.
6. Barang siapa mempunyai tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan atau dua anak perempuan atau dua saudara perempuan, lalu dia bersikap ihsan dalam pergaulan dengan mereka dan mendidik mereka dengan penuh rasa takwa serta bertanggungjawab, maka baginya adalah syurga.
7. Dari Aisyah r.a. “Barang siapa yang diuji dengan se Suatu dari anak-anak perempuannya, lalu dia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.
8. Syurga itu di bawah telapak kaki ibu.
9. Apabila memanggil akan engkau dua orang ibu bapamu, maka jawablah panggilan ibumu dahulu.
10. Wanita yang taat berkhidmat kepada suaminya akan tertutup pintu-pintu neraka dan terbuka pintu-pintu syurga. Masuklah dari mana-mana pintu yang dia kehendaki dengan tidak dihisab.
11. Wanita yang taat akan suaminya, semua ikan-ikan di laut, burung di udara, malaikat di langit, matahari dan bulan, semuanya beristighfar baginya selama mana dia taat kepada suaminya dan direkannya (serta menjaga sembahyang dan puasanya).
12. Aisyah r.a. berkata “Aku bertanya kepada Rasulullah S.A.W., siapakah yang lebih besar haknya terhadap wanita? Jawab baginda, “Suaminya.” “Siapa pula berhak terhadap pria?” tanya Aisyah kembali, Jawab Rasulullah S.A.W. “Ibunya.”
13. Perempuan apabila sembahyang lima waktu, puasa bulan Ramadan, memelihara kehormatannya serta taat akan suaminya, masuklah dia dari pintu syurga mana sahaja yang dia kehendaki.
14. Tiap perempuan yang menolong suaminya dalam urusan agama, maka Allah S.W.T. memasukkan dia ke dalam syurga lebih dahulu daripada suaminya (10,000 tahun).
15. Apabila seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya, maka beristighfarlah para malaikat untuknya. Allah S.W.T. menatatkan baginya setiap hari dengan 1,000 kebaikan dan menghapuskan darinya 1,000 kejahatan.
16. Apabila seseorang perempuan mulai sakit hendak bersalin, maka Allah S.W.T. mencatatkan baginya pahala orang yang berjihad pada jalan Allah S.W.T.
17. Apabila seseorang perempuan melahirkan anak, keluarlah dia daripada dosa-dosa seperti keadaan ibunya melahirkannya.
18. Apabila telah lahir (anak) lalu disusui, maka bagi ibu itu setiap satu tegukan daripada susunya diberi satu kebajikan.
19. Apabila semalaman (ibu) tidak tidur dan memelihara anaknya yang sakit, maka Allah S.W.T. memberinya pahala seperti memerdekakan 70 orang hamba dengan ikhlas untuk membela agama Allah S.W.T.
20. Seorang wanita solehah adalah lebih baik daripada 70 orang wali.
21. Seorang wanita yang jahat adalah lebih buruk dari pada 1,000 pria yang jahat.
22. Rakaat solat dari wanita yang hamil adalah lebih baik daripada 80 rakaat solat wanita yang tidak hamil.
23. Wanita yang memberi minum air susu ibu (asi) kepada anaknya daripada badannya (susu badannya sendiri) akan dapat satu pahala dari pada tiap-tiap titik susu yang diberikannya.
24. Wanita yang melayani dengan baik suami yang pulang ke rumah di dalam keadaan letih akan mendapat pahala jihad.
25. Wanita yang melihat suaminya dengan kasih sayang dan suami yang melihat isterinya dengan kasih sayang akan dipandang Allah dengan penuh rahmat.
26. Wanita yang menyebabkan suaminya keluar dan berjuang ke jalan Allah dan kemudian menjaga adab rumah tangganya akan masuk syurga 500 tahun lebih awal daripada suaminya, akan menjadi ketua 70,000 malaikat dan bidadari dan wanita itu akan dimandikan di dalam syurga, dan menunggu suaminya dengan menunggang kuda yang dibuat daripada yakut.
27. Wanita yang tidak cukup tidur pada malam hari kerana menjaga anak yang sakit akan diampunkan oleh Allah akan seluruh dosanya dan bila dia hiburkan hati anaknya Allah memberi 12 tahun pahala ibadat.
28. Wanita yang memerah susu binatang dengan “bismillah” akan didoakan oleh binatang itu dengan doa keberkatan.
29. Wanita yang menguli tepung gandum dengan “bismillah”, Allah akan berkatkan rezekinya.
30. Wanita yang menyapu lantai dengan berzikir akan mendapat pahala seperti meyapu lantai di baitullah.
31. Wanita yang hamil akan dapat pahala berpuasa pada siang hari.
32. Wanita yang hamil akan dapat pahala beribadat pada malam hari.
33. Wanita yang bersalin akan mendapat pahala 70 tahun solat dan puasa dan setiap kesakitan pada satu uratnya Allah mengurniakan satu pahala haji.
34. Sekiranya wanita mati dalam masa 40 hari selepas bersalin, dia akan dikira sebagai mati syahid.
35. Jika wanita melayani suami tanpa khianat akan mendapat pahala 12 tahun solat.
36. Jika wanita menyusui anaknya sampai cukup tempo(2½ thn),maka malaikat-malaikat dilangit akan khabarkan berita bahwa syurga wajib baginya. Jika wanita memberi susu badannya kepada anaknya yang menangis, Allah akan memberi pahala satu tahun solat dan puasa.
37. Jika wanita memicit/mijat suami tanpa disuruh akan mendapat pahala 7 tola emas dan jika wanita memicit suami bila disuruh akan mendapat pahala 7 tola perak.
38. Wanita yang meninggal dunia dengan keredhaan suaminya akan memasuki syurga.
39. Jika suami mengajarkan isterinya satu masalah akan mendapat pahala 80 tahun ibadat.
40. Semua orang akan dipanggil untuk melihat wajah Allah di akhirat, tetapi Allah akan datang sendiri kepada wanita yang memberati auratnya yaitu memakai purdah di dunia ini dengan istiqamah.
Berbahagialah engkau wahai bidadari penghuni syurga…… !
semoga bermanfaat.tuk para wanita..
1. Wanita yang solehah (baik) itu lebih baik dari 70 orang pria yang soleh.
2. Barang siapa yang menggembirakan anak perempuannya, derajatnya seumpama orang yang senantiasa menangis karena takut pada Allah S.W.T. dan orang yang takut pada Allah S.W.T. akan diharamkan api neraka ke atas tubuhnya.
3. Barang siapa yang membawa hadiah (barang makanan dari pasar ke rumah) lalu diberikan kepada keluarganya, maka pahalanya seperti bersedekah.
4. Hendaklah mendahulukan anak perempuan daripada anak pria. Maka barang siapa yang menggembirakan anak perempuannya seolah- olah dia memerdekakan anak Nabi Ismail A.S.
5. Wanita yang tinggal bersama anak-anaknya akan tinggal bersama aku (Rasulullah S.A.W.) di dalam syurga.
6. Barang siapa mempunyai tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan atau dua anak perempuan atau dua saudara perempuan, lalu dia bersikap ihsan dalam pergaulan dengan mereka dan mendidik mereka dengan penuh rasa takwa serta bertanggungjawab, maka baginya adalah syurga.
7. Dari Aisyah r.a. “Barang siapa yang diuji dengan se Suatu dari anak-anak perempuannya, lalu dia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.
8. Syurga itu di bawah telapak kaki ibu.
9. Apabila memanggil akan engkau dua orang ibu bapamu, maka jawablah panggilan ibumu dahulu.
10. Wanita yang taat berkhidmat kepada suaminya akan tertutup pintu-pintu neraka dan terbuka pintu-pintu syurga. Masuklah dari mana-mana pintu yang dia kehendaki dengan tidak dihisab.
11. Wanita yang taat akan suaminya, semua ikan-ikan di laut, burung di udara, malaikat di langit, matahari dan bulan, semuanya beristighfar baginya selama mana dia taat kepada suaminya dan direkannya (serta menjaga sembahyang dan puasanya).
12. Aisyah r.a. berkata “Aku bertanya kepada Rasulullah S.A.W., siapakah yang lebih besar haknya terhadap wanita? Jawab baginda, “Suaminya.” “Siapa pula berhak terhadap pria?” tanya Aisyah kembali, Jawab Rasulullah S.A.W. “Ibunya.”
13. Perempuan apabila sembahyang lima waktu, puasa bulan Ramadan, memelihara kehormatannya serta taat akan suaminya, masuklah dia dari pintu syurga mana sahaja yang dia kehendaki.
14. Tiap perempuan yang menolong suaminya dalam urusan agama, maka Allah S.W.T. memasukkan dia ke dalam syurga lebih dahulu daripada suaminya (10,000 tahun).
15. Apabila seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya, maka beristighfarlah para malaikat untuknya. Allah S.W.T. menatatkan baginya setiap hari dengan 1,000 kebaikan dan menghapuskan darinya 1,000 kejahatan.
16. Apabila seseorang perempuan mulai sakit hendak bersalin, maka Allah S.W.T. mencatatkan baginya pahala orang yang berjihad pada jalan Allah S.W.T.
17. Apabila seseorang perempuan melahirkan anak, keluarlah dia daripada dosa-dosa seperti keadaan ibunya melahirkannya.
18. Apabila telah lahir (anak) lalu disusui, maka bagi ibu itu setiap satu tegukan daripada susunya diberi satu kebajikan.
19. Apabila semalaman (ibu) tidak tidur dan memelihara anaknya yang sakit, maka Allah S.W.T. memberinya pahala seperti memerdekakan 70 orang hamba dengan ikhlas untuk membela agama Allah S.W.T.
20. Seorang wanita solehah adalah lebih baik daripada 70 orang wali.
21. Seorang wanita yang jahat adalah lebih buruk dari pada 1,000 pria yang jahat.
22. Rakaat solat dari wanita yang hamil adalah lebih baik daripada 80 rakaat solat wanita yang tidak hamil.
23. Wanita yang memberi minum air susu ibu (asi) kepada anaknya daripada badannya (susu badannya sendiri) akan dapat satu pahala dari pada tiap-tiap titik susu yang diberikannya.
24. Wanita yang melayani dengan baik suami yang pulang ke rumah di dalam keadaan letih akan mendapat pahala jihad.
25. Wanita yang melihat suaminya dengan kasih sayang dan suami yang melihat isterinya dengan kasih sayang akan dipandang Allah dengan penuh rahmat.
26. Wanita yang menyebabkan suaminya keluar dan berjuang ke jalan Allah dan kemudian menjaga adab rumah tangganya akan masuk syurga 500 tahun lebih awal daripada suaminya, akan menjadi ketua 70,000 malaikat dan bidadari dan wanita itu akan dimandikan di dalam syurga, dan menunggu suaminya dengan menunggang kuda yang dibuat daripada yakut.
27. Wanita yang tidak cukup tidur pada malam hari kerana menjaga anak yang sakit akan diampunkan oleh Allah akan seluruh dosanya dan bila dia hiburkan hati anaknya Allah memberi 12 tahun pahala ibadat.
28. Wanita yang memerah susu binatang dengan “bismillah” akan didoakan oleh binatang itu dengan doa keberkatan.
29. Wanita yang menguli tepung gandum dengan “bismillah”, Allah akan berkatkan rezekinya.
30. Wanita yang menyapu lantai dengan berzikir akan mendapat pahala seperti meyapu lantai di baitullah.
31. Wanita yang hamil akan dapat pahala berpuasa pada siang hari.
32. Wanita yang hamil akan dapat pahala beribadat pada malam hari.
33. Wanita yang bersalin akan mendapat pahala 70 tahun solat dan puasa dan setiap kesakitan pada satu uratnya Allah mengurniakan satu pahala haji.
34. Sekiranya wanita mati dalam masa 40 hari selepas bersalin, dia akan dikira sebagai mati syahid.
35. Jika wanita melayani suami tanpa khianat akan mendapat pahala 12 tahun solat.
36. Jika wanita menyusui anaknya sampai cukup tempo(2½ thn),maka malaikat-malaikat dilangit akan khabarkan berita bahwa syurga wajib baginya. Jika wanita memberi susu badannya kepada anaknya yang menangis, Allah akan memberi pahala satu tahun solat dan puasa.
37. Jika wanita memicit/mijat suami tanpa disuruh akan mendapat pahala 7 tola emas dan jika wanita memicit suami bila disuruh akan mendapat pahala 7 tola perak.
38. Wanita yang meninggal dunia dengan keredhaan suaminya akan memasuki syurga.
39. Jika suami mengajarkan isterinya satu masalah akan mendapat pahala 80 tahun ibadat.
40. Semua orang akan dipanggil untuk melihat wajah Allah di akhirat, tetapi Allah akan datang sendiri kepada wanita yang memberati auratnya yaitu memakai purdah di dunia ini dengan istiqamah.
Berbahagialah engkau wahai bidadari penghuni syurga…… !
Jumat, 06 April 2012
Tafsir Arti Mimpi Digigit Ular
Mimpi dianggap sebagian orang
hanyalah sebuah bunga tidur yg ditimbulkan oleh ingatan atau kesibukan
diwaktu siang hari sebelum tidur. Namun ada yang menganggap mimpi adalah
suatu petunjuk atau pertanda apa yang akan terjadi di masa mendatang.
Bagi yang percaya dengan arti mimpi, pastilah ingin mengetahui apa makna
dan tafsir dari mimpi yang dialaminya tersebut. Salah satu mimpi yang
dialami orang adalah Mimpi Digigit Ular.
Namun orang masih penasaran dengan apa Tafsir Arti Mimpi Digigit Ular. Orang percaya apabila seseorang mengalami mimpi digigit ular, akan mendapatkan kesialan dan pengalaman yang tidak menyenangkan bahkan bisa mendapatkan malapetaka. Untuk itu agar tidak terjadi suatu keraguan, berikut ini adalah Tafsir Arti Mimpi Digigit Ular dikutip dari Primbon Mimpi.
Namun orang masih penasaran dengan apa Tafsir Arti Mimpi Digigit Ular. Orang percaya apabila seseorang mengalami mimpi digigit ular, akan mendapatkan kesialan dan pengalaman yang tidak menyenangkan bahkan bisa mendapatkan malapetaka. Untuk itu agar tidak terjadi suatu keraguan, berikut ini adalah Tafsir Arti Mimpi Digigit Ular dikutip dari Primbon Mimpi.
- Jika anda belum menikah dan mimpi digigit ular, artinya akan segera mendapat pasangan / jodoh.
- Jika anda sudah menikah dan mimpi digigit ular, artinya akan memperoleh kemakmuran hidup.
- Mimpi melihat ular, artinya Akan disukai orang banyak.
- Mimpi melihat ular kecil yang tiba-tiba berubah menjadi naga, artinya akan ada orang besar menolong anda.
- Mimpi melihat ular berwarna, artinya akan memperoleh kebahagiaan
Senin, 19 Maret 2012
Wanita Sebagai IBU
Lahir sebagai wanita adalah anugerah hebat dari Allah. Apatah lagi berpeluang menjadi seorang ibu. Sememangnya wanita tidak segagah lelaki tetapi wanita mempunyai kehebatan tersendiri. Di sebalik kehebatan seorang lelaki sudah pasti ada seorang wanita yang lebih hebat di belakangnya….yang mengandungkannya dengan penuh dugaan, yang bertarung nyawa melahirkannya, bersusah-payah membesarkannya, mendidik dan mengajarnya hingga menjadi sebegitu hebat....
Ibu solehah yang hebat sudah pasti dapat menilai yang mana permata dan yang mana kaca. Ibu yang hebat sudah pasti akan memilih acuan yang terbaik untuk anak-anaknya. Sudah pasti misinya melahirkan anak-anak yang hebat di sisi Alloh dan di kacamata manusia.
Anak yang menjadikan dunia tempat untuk mencari keredhaan Alloh, yang sentiasa bermanfaat pada setiap manusia di sekelilingnya, yang mempunyai kecerdikan akal, ketinggian akhlak, yang menjadi penenang jiwa dan pengubat hati.
Anak yang akan sentiasa mendoakan kedua ibu bapanya. Bukan mudah untuk melahirkan anak-anak yang sedemikian rupa.
Sudah pasti ianya memerlukan pengorbanan dan kemahuan yang tinggi dan rasa tanggungjawab terhadap amanah Alloh itu sendiri. Amanah yang kelak akan disoal....
Walaupun tanggungjawab mendidik anak-anak beratnya terletak pada bapa, ibu juga memainkan peranan yang besar dalam merealisasikan peranan bapa itu sendiri. Ibu adalah manusia yang paling dekat dengan anak.
Sejak berada di alam rahim selama 9 bulan 10 hari sehinggalah anak itu dilahirkan ke dunia. Setiap tingkah laku ibu diperhati oleh anak.
Ibu menjadi role model pertama, ibu adalah guru pertama yang mendidik anak-anak. Jika baik ibu itu, Insya Alloh baiklah anaknya.....
Ibu yang hebat akan mendidik dirinya terlebih dahulu sebelum mendidik anak-anaknya kerana kita tidak akan mampu untuk memberi sekiranya diri kira sendiri tidak pernah memilikinya.
Didiklah dirimu wahai ibu sebelum kamu mendidik anak-anakmu. Bersusah-payahlah membetulkan dirimu terlebih dahulu. Sudah pasti selepas kesusahan, pasti ada kesenangan. Biar kita menangis sekarang, jangan kelak kita menangis dan kesal atas kelalaian kita dalam mendidik anak-anak.....
Maka, carilah ilmu pendidikan anak-anak yang betul , yang menepati kehendak Islam supaya dapat melahirkan generasi muda yang menjadi harapan bangsa.....semoga bermanfaat...
salam ukhuwah
hamba Alloh
Nasehat Lukman Al Hakim Pada Anaknya
Satu-satunya manusia yang bukan nabi, bukan pula Rasul tapi kisah
hidupnya diabadikan dalam Qur'an adalah Lukman Al Hakim. Kenapa, tak
lain, karena hidupnya penuh hikmah. Suatu hari ia pernah menasehati
anaknya tentang hidup.
"Anakku, jika makanan telah memenuhi perutmu, maka akan matilah pikiran dan kebijaksanaanmu. Semua anggota badanmu akan malas untuk melakukan badah, dan hilang pulalah ketulusan dan kebersihan hati. Padahal hanya dengan hati bersih manusia bisa menikmati lezatnya berdzikir."
"Anakku, kalau sejak kecil engkau rajin belajar dan menuntut ilmu. Dewasa kelak engkau akan memetik buahnya dan menikmatinya."
"Anakku, ikutlah engkau pada orang-orang yang sedang menggotong jenazah, jangan kau ikut orang-orang yang hendak pergi ke pesta pernikahan. Karena jenazah akan mengingatkan engkau pada kehidupan yang akan datang. Sedangkan pesta pernikahan akan membangkitkan nafsu duniamu."
"Anakku, aku sudah pernah memikul batu-batu besar, aku juga sudah mengangkat besi-besi berat. Tapi tidak pernah kurasakan sesuatu yang lebih berat daripada tangan yang buruk perangainya."
"Anakku, aku sudah merasakan semua benda yang pahit. Tapi tidak pernah kurasakan yang lebih pahit dari kemiskinan dan kehinaan."
"Anakku, aku sudah mengalami penderitaan dan bermacam kesusahan. Tetapi aku belum pernah merasakan penderitaan yang lebih susah daripada menanggung hutang."
"Anakku, sepanjang hidupku aku berpegang pada delapan wasiat para nabi.
Kalimat itu adalah:
1. Jika kau beribadah pada Allah, jagalah pikiranmu baik-baik.
2. Jika kau berada di rumah orang lain, maka jagalah pandanganmu.
3. Jika kau berada di tengah-tengah majelis, jagalah lidahmu.
4. Jika kau hadir dalam jamuan makan, jagalah perangaimu.
5. Ingatlah Allah selalu.
6. Ingatlah maut yang akan menjemputmu
7. Lupakan budi baik yang kau kerjakan pada orang lain.
8. Lupakan semua kesalahan orang lain terhadapmu.
"Anakku, jika makanan telah memenuhi perutmu, maka akan matilah pikiran dan kebijaksanaanmu. Semua anggota badanmu akan malas untuk melakukan badah, dan hilang pulalah ketulusan dan kebersihan hati. Padahal hanya dengan hati bersih manusia bisa menikmati lezatnya berdzikir."
"Anakku, kalau sejak kecil engkau rajin belajar dan menuntut ilmu. Dewasa kelak engkau akan memetik buahnya dan menikmatinya."
"Anakku, ikutlah engkau pada orang-orang yang sedang menggotong jenazah, jangan kau ikut orang-orang yang hendak pergi ke pesta pernikahan. Karena jenazah akan mengingatkan engkau pada kehidupan yang akan datang. Sedangkan pesta pernikahan akan membangkitkan nafsu duniamu."
"Anakku, aku sudah pernah memikul batu-batu besar, aku juga sudah mengangkat besi-besi berat. Tapi tidak pernah kurasakan sesuatu yang lebih berat daripada tangan yang buruk perangainya."
"Anakku, aku sudah merasakan semua benda yang pahit. Tapi tidak pernah kurasakan yang lebih pahit dari kemiskinan dan kehinaan."
"Anakku, aku sudah mengalami penderitaan dan bermacam kesusahan. Tetapi aku belum pernah merasakan penderitaan yang lebih susah daripada menanggung hutang."
"Anakku, sepanjang hidupku aku berpegang pada delapan wasiat para nabi.
Kalimat itu adalah:
1. Jika kau beribadah pada Allah, jagalah pikiranmu baik-baik.
2. Jika kau berada di rumah orang lain, maka jagalah pandanganmu.
3. Jika kau berada di tengah-tengah majelis, jagalah lidahmu.
4. Jika kau hadir dalam jamuan makan, jagalah perangaimu.
5. Ingatlah Allah selalu.
6. Ingatlah maut yang akan menjemputmu
7. Lupakan budi baik yang kau kerjakan pada orang lain.
8. Lupakan semua kesalahan orang lain terhadapmu.
Orang Inilah Yang Istghfarnya Butuh Kepada Istighfar
قال القرطبي رحمه الله: قال علماؤنا: الاستغفار المطلوب هو الذي يحل عقد الإصرار ويثبت معناه في الجنان، لا التلفظ باللسان. فأما من قال بلسانه: أستغفر الله، وقلبه مصر على معصيته فاستغفاره ذلك يحتاج إلى استغفار، وصغيرته لاحقة بالكبائر. وروي عن الحسن البصري أنه قال: استغفارنا يحتاج إلى استغفار.
Artinya: "Berkata Al Qurtuby rahimahullah: "Ulama kita berkata: "Istighfar yang semestinya adalah yang melepaskan ikatan-ikatan meneruskan (dosa), yang tetap maknanya di dalam hati bukan hanya ucapan lisan. Adapun yang mengatakan dengan lisan "astaghfirullah" sedangkan hatinya bertekad meneruskan maksiatnya, maka istighfarnya itu membutuhkan kepada sebuah istighfar (lain), dosa-dosa kecilnya (yang ia perbuat) akan menyusul kepada dosa besar. Diriwayatkan bahwa Al Hasan Al Bashry berkata: "Istighfar kita membutuhkan kepada Istighfar". Lihat Tafsir Al Qurthuby.
وقال النووي: وعن الفضيل بن عياض رضي الله تعالى عنه : استغفار بلا إقلاع توبة الكذابين.
Artinya: "An Nawawi rahimahullah: Al Fudahil bin Iyadh radhiyallahu 'anhu berkata: "Istighfar dengan tidak melepaskan maksiat adalah taubatnya para tukang dusta". Lihat kitab Al Adzkar, Karya An Nawawi.
قال المناوي: تنبيه سئل أحدهم أيهما أفضل: التسبيح والتهليل والتكبير أو الاستغفار؟ فقال: يا هذا الثوب الوسخ أحوج إلى الصابون منه إلى البخور، ولا بد من قرن التوبة بالاستغفار لأنه إذا استغفر بلسانه وهو مصر عليه فاستغفاره ذنب يحتاج للاستغفار ويسمى توبة الكذابين . انتهى.
Artinya: "Al Munawi rahimahullah berkata: "Perhatian, seorang ulama ditanya: "Manakah yang lebih utama: Bertasbih, bertahlil, bertakbir atau istighfar?", dia menjawab: "Wahai kamu, pakaian yang kotor lebih butuh kepada sabun daripada minyak wangi, dan taubat harus dibarengi dengan istighfar, karena jika dia beristighfar dengan lisannya padahal dia terus melakukan (dosa)nya, maka istighfarnya adalah dosa yang membutuhkan kepada istighfar dan dinamai dengan taubatnya para tukang dusta". Lihat Fath Al Qadir, karya Al Munawi.
قال ابن رجب: فأفضل الاستغفار ما اقترن به تركُ الإصرار ، وهو حينئذ توبةٌ نصوح ، وإنْ قال بلسانه : أستغفر الله وهو غيرُ مقلع بقلبه ، فهو داعٍ لله بالمغفرة ، كما يقول : اللهمَّ اغفر لي ، وهو حسن وقد يُرجى له الإجابة ، وأما من قال : توبةُ الكذابين ، فمرادُه أنَّه ليس بتوبة ، كما يعتقده بعضُ الناس ، وهذا حقٌّ ، فإنَّ التَّوبةَ لا تكون مَعَ الإصرار.
Artinya: "Ibnu Rajab rahimahullah berkata: "jadi, istighfar paling utama adalah yang dibarengi dengan meninggal sikap meneruskan (melakukan dosa), dan dialah yang disebut Taubat Nasuha, dan jika mengucapkan dengan lisannya: "Astaghfirullah, dan dia tidak melepaskan dengan hatinya, maka dia (seperti) orang yang berdoa kepada Allah meminta ampunan, sebagaimana dia mengucapkan: "Ya Allah ampunilah aku", ini baik dan diharapkan baginya pengabulan (atas doanya), adapun yang berkata: "Taubatnya para tukang dusta, maka maksudnya adalah bukan taubat sebagaimana yang diyakini oleh sebagian orang, dan ini adalah sebuah kebenaran, karena sesungguhnya taubat tidak akan terjadi dengan meneruskan (maksiat). [Lihat Jami' Al Ulum wa Al Hikam, karya Ibnu Rajab].
Umar bin Khattab melakukan perjalanan diam-diam
Hampir setiap malam Umar bin Khattab melakukan perjalanan diam-diam. Ditemani salah seorang sahabatnya, ia masuk keluar kampung. Ini ia lakukan untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Umar khawatir jika ada hak-hak mereka yang belum ditunaikan oleh aparat pemerintahannya.
Malam itu pun, bersama Aslam, Khalifah Umar bin Khattab berada di suatu kampung terpencil. Kampung itu berada di tengah-tengah gurun yang sepi. Saat itu Khalifah terperanjat. Dari kejauhan tampak sebuah kemah yang sudah rombeng, sayup terdengar seorang gadis kecil sedang menangis berkepanjangan. Umar bin Khattab dan Aslam bergegas mendekati kemah itu, untuk segera mengetahui siapa penghuninya sekiranya membutuhkan pertolongan mendesak.
Setelah dekat, Umar melihat seorang perempuan tua tengah menjerangkan panci di atas tungku api. Asap mengepul-ngepul dari panci itu, sementara si ibu terus saja mengaduk-aduk isi panci dengan sebuah sendok kayu yang panjang.
“Assalamu’alaikum,” Umar memberi salam.
Mendengar salam Umar, ibu itu mendongakan kepala seraya menjawab salam Umar. Tapi setelah itu, ia kembali pada pekerjaannya mengaduk-aduk isi panci.
“Siapakah gerangan yang menangis di dalam itu ?” tanya Umar.
Dengan sedikit tak peduli, ibu itu menjawab, “Anakku….”
“Apakah ia sakit ?”
“Tidak,” jawab si ibu lagi. “Ia kelaparan.”
Umar dan Aslam tertegun. Mereka masih tetap duduk di depan kemah sampai lebih dari satu jam. Gadis kecil itu masih terus menangis. Sedangkan ibunya terus mengaduk-aduk isi pancinya.
Umar tidak habis pikir, apa yang sedang dimasak oleh ibu tua itu ? Sudah begitu lama tapi belum juga matang. Karena tak tahan, akhirnya Umar berkata, “Apa yang sedang kau masak, hai Ibu ? Kenapa tidak matang-matang juga masakanmu itu ?”
Ibu itu menoleh dan menjawab, “Hmmm, kau lihatlah sendiri !”
Umar dan Aslam segera menjenguk ke dalam panci tersebut. Alangkah kagetnya ketika mereka melihat apa yang ada di dalam panci tersebut. Sambil masih terbelalak tak percaya, Umar berteriak, “Apakah kau memasak batu ?”
Perempuan itu menjawab dengan menganggukkan kepala.
“Buat apa ?”
Dengan suara lirih, perempuan itu kembali bersuara menjawab pertanyaan Umar, “Aku memasak batu-btu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khattab. Ia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi belum. Lihatlah aku. Aku seorang janda. Sejak dari pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi anakku pun kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rejeki. Namun ternyata tidak. Sesudah magrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut yang kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan kuisi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar ia bangun dan menangis minta makan.”
Ibu itu diam sejenak. Kemudian ia melanjutkan, “Namun apa dayaku ? Sungguh Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.”
Mendengar penuturan si Ibu seperti itu, Aslam akan menegur perempuan itu. Namun Umar sempat mencegah. Dengan air mata berlinang ia bangkit dan mengajak Aslam cepat-cepat pulang ke Madinah. Tanpa istirahat lagi, Umar segera memikul gandum di punggungnya, untuk diberikan kepada janda tua yang sengsara itu.
Karena Umar bin Khattab terlihat keletihan, Aslam berkata, “Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku yang memikul karung itu….”
Dengan wajah merah padam, Umar menjawab, “Aslam, jangan jerumuskan aku ke dalam neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini di hari pembalasan kelak ?”
Aslam tertunduk. Ia masih berdiri mematung, ketika tersuruk-suruk Khalifah Umar bin Khattab berjuang memikul karung gandum itu. Angin berhembus. Membelai tanah Arab yang dilanda paceklik.
Konglomerat itu Muhammad SAW
Orang lebih mengenal sosok Muhammad SAW sebagai seorang Rasul yang sangat sederhana. Ketika saya mengikuti pengajian di beberapa tempat, sering kali cerita yang saya dapatkan tentang pribadi Rasulullah adalah seorang yang sangat miskin harta. Sejak kecil, saya selalu mendengar cerita-cerita bahwa Rasulullah seolah-olah Rasulullah selalu identik dengan kemiskinan. Terus terang semua cerita itu tidak dengan mudah saya terima. Ketika kanak-kanak dulu, sering kali saya bertanya-tanya dalam hati, jika memang Rasulullah adalah seorang hamba utusan Allah yang sangat dikasihi oleh Allah, mengapa Allah membiarkan beliau hidup dalam kemiskinan. Sementara pandangan umum kita pasti sepakat bahwa kefakiran biasanya akan selalu dekat dengan kekufuran. Saya pun pernah mendengar suatu riwayat. Suatu ketika malaikat Jibril menawarkan kepada Rasul, apabila beliau mau, malaika Jibril akan mengubah sebuah gunung itu menjadi gunung emas dan akan diberikan untuk Rasulullah. Tetapi kemudian Rasulullah menolaknya. Sejak itu saya berfikir, tentulah sangat mudah bagi diri Rasulullah jika beliau menghendaki menjadi kaya. Tapi pertanyaannya mengapa beliau memilih hidup sederhana? Lalu apakah seumur hidupnya beliau tidak pernah merasakan kekayaan?
Saya berpendapat, sepertinya bagi orang-orang yang menganggap bahwa Rasulullah itu adalah seorang yang miskin perlu mengkaji kembali sejarah perjalanan hidup Rasulullah. Sebab, ternyata apa yang tercatat dalam lembaran sejarah sangat jelas menyatakan bahwa Rasulullah itu seorang konglomerat yang kaya raya.
Abu Thalib, paman Rasulullah, merupakan salah satu anak Abdul Muthalib yang paling sederhana hidupnya. Muhammad SAW diasuh pamannya itu setelah kakeknya, Abdul Muthalib, wafat menyusul kedua orang tuanya. Di bawah asuhan Abu Thalib, jejak kemandirian Muhammad SAW mulai bisa kita telusuri.
Tidak jarang Muhammad kecil membantu ekonomi keluarga sang paman, bekerja “serabutan” kepada penduduk Makkah. Muhammad SAW juga mendapat upah beberapa qirath (gaji dalam bentuk dinar/dirham) dari pekerjaan menggembalakan kambing-kambing penduduk Makkah. Pengalaman masa kecil seperti inilah yang menjadi modal psikologis Muhammad SAW ketika menjadi wirausahawan di kemudian hari.
Karir bisnis Muhammad SAW dimulai pada umur 12 tahun, ketika ikut Abu Thalib berdagang ke Syam (sekarang Suriah). Saat itu beliau kerja magang pada pamannya. Setelah memiliki pengalaman, pada usia 17 tahun, Muhammad SAW, mulai berdagang sendiri. Selain untuk ikut meringankan beban pamannya, Muhammad SAW memang diharapkan menjadi pedagang, sebagaimana anggota suku Quraisy lain yang umumnya pedagang sukses.
Muhammad SAW merintis karirnya dengan berdagang kecil-kecilan di Makkah, dengan membeli barang-barang dai satu pasar, lalu menjualnya kepada orang lain. Sampai kemudian beliau menerima modal dari para investor, juga para janda kaya dan anak-anak yatim yang tidak sanggup menjalankan sendiri dana mereka. Muhammad SAW menjalankan perdagangan mereka dengan sistem bagi hasil maupun menerima upah.
Dalam berbisnis, Muhammad SAW selalu melakukan dengan jujur, memegang janji, dan sifat terpuji lainnya. Sehingga penduduk Makkah mengenal pebisnis itu sebagai “al-amin” atau orang yang terpercaya. Perangai yang baik, ditambah kepiawaiannya dalam berdagang menjadikan para pemilik modal di Makkah semakin beruntung bekerjasama dengan Muhammad SAW. Sehingga semakin banyak di antara mereka yang membuka peluang kemitraan dengannya.
Salah satunya pebisnis terkemuka Makkah bernama Khadijah binti Khuwailid juga mendengar etos kerja dan kemuliaan sifat Muhammad SAW. Karena itu Muhammad SAW direkrut sebagai manajer pengelola bisnisnya. Belakangan, Muhammad SAW menikah dengan Khadijah dan menjalankan bisnis bersama.
Kurang lebih selama 28 tahun Muhammad SAW mengembangkan bisnis perdagangan. Wilayah perdagangannya meliputi Syam, Bahrain, Yordania, Yaman, Bushro, Irak, dan kota-kota perdagangan di jazirah Arab lain. Menurut satu riwayat, sebelum menikah, Muhammad SAW menjadi manajer perdagangan Khadijah ke pusat perdagangan Habsyah (Ethiopia) di Yaman. Beliau juga empat kali memimpin ekspedisi perdagangan untuk Khadijah ke Syam dan Jorash di Jordania.
Dalam semua perjalanan dagang tersebut, beliau selalu mendapatkan sukses besar, tanpa pernah merugi. Dari peta perjalanan bisnisnya, di usia muda, Muhammad SAW sudah menjadi pedagang regional karena perdagangannya meliputi hampir seluruh jazirah Arab.
Setelah menikah, Muhammad SAW menjalankan usaha perdagangannya seperti biasa, sebagai manajer sekaligus mitra dalam usaha istrinya. Tiga dari perdagangan beliau yang sempat diberitakan adalah perjalanan dagang ke Yaman, Najd, dan Najran. Di samping itu, beliau juga sibuk mengurus perdagangan grosir di kota Makkah, serta terlibat dalam urusan dagang selama musim haji, misalnya di pasar Ukaz dan Dzul Majaz. Boleh dikatakan, bisnis yang dilakukan Muhammad SAW dan Khadijah hingga menjelang pengangkatan kenabiannya adalah bisnis konglomerat.
Bila dihitung, karir bisnis Muhammad SAW yang dimulai ketika umur 12 tahun sampai diangkat menjadi Rasul di umur 40 tahun, berarti profesi sebagai bisnismen beliau jalani selama 28 tahun. Ini belum termasuk kegiatan dagang yang dilakukannya setelah menjadi Rasul. Bandingkan dengan masa kerasulannya yang berjalan selama 23 tahun, sejak umur 40 tahun hingga beliau wafat pada umur 63 tahun.
RASULULLAH ITU KAYA RAYA
Di antara informasi tentang kekayaan Muhammad SAW sebelum kenabian adalah jumlah mahar yang dibayarkan saat menikahi Khadijah. Beliau menyerahkan 20 ekor unta muda sebagai mahar, ditambah 12 uqiyah emas (1 uqiyah sekitar 40 dirham syar’i; dirham syar’i sekitar 3.770 gram). Suatu jumlah yang sangat besar apabila dikonversikan ke mata uang sekarang. Muhammad SAW juga menyembelih satu-dua ekor unta untuk jamuan pernikahannya.
Hal ini berarti Muhammad SAW telah memiliki kekayaan yang cukup besar ketika beliau akan menikahi Khadijah. Kekayaan itu semakin bertambah setelah menikah, karena harta beliau digabung dengan harta Khadijah dan terus dikembangkan melalui perdagangan.
Muhammad juga memiliki banyak unta perah dan 20 untanya pernah dirampas oleh Uyainah bin Hishn. Beliau juga ditopang kekayaan dalam berdakwah. Di antaranya mempunya unta dari jenis terbaik (al-qashwa) dan keledai pilihan, sehingga memudahkan perjalanan dan perjuangannya. Di luar itu, beliau juga rutin menerima gaji yang besar dari Baitul Maal (lembaga keuangan Islam).
Di saming itu, harta beliau juga berasal dari hadiah yang diberikan para pembesar dan penguasa yang menjalin hubungan diplomatik dengannya. Misalnya hadiah dari Muqaiqis, penguasa Mesir, yang menghadiahinya tiga hamba sahaya, 20 potong baju pembesar, umamah (penutup kepala laki-laki), serta beberapa keledai dan kuda. Dari hadiah itu Muhammad SAW memberi Hatib bin Abi Balta 100 dinar dan 5 potong baju.
Al-Haris bin Syamr al-Ghassani juga pernah memberi hadiah kepada Muhammad SAW 100 gram emas dan sejumlah pakaian. Sebaliknya Rasulullah SAW pernah memberi hadiah kepada beberapa penguasa, seperti kepada gubernur Kisra di Yaman berupa emas dan perak. Beliau juga mempunyai kekayaan tanah di Fadak (daerah pemerintahan otonomi Yahudi di Hijaz) pemberian kaum Yahudi Falak.
Muhammad SAW banyak menggunakan hartanya di jalan Allah, seperti untuk menyantuni fakir miskin, anak yatim, dan proyek sosial lainnya. Akibatnya, harta kekayaannya pun sedikit demi sedikit berkurang. Bahkan dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa beliau tidak menyimpan kekayaan di rumah, dan barang-barang yang ditemui di rumahnya hanya beberapa peralatan masak dan tikar untuk alas tidur.
Muhammad SAW memang dikenal sebagai orang yang sangat suka bersedekah. Pernah seusai perang Hunain, Muhammad SAW membagikan 1.500 unta kepada beberapa orang Quraisy. Ketika kembali dari perang Hunain, beliau juga disodori uang hasil rampasan perang. Beliau berkata, “Letakkanlah uang itu di masjid”, dan jumlah uang itu adalah yang terbanyak dari yang pernah diterimanya. Kemudian beliau shalat di masjid itu, tanpa menoleh kepada uang tadi. Ketika shalat, beliau duduk dekat uang itu dan memberikannya kepada setiap orang yang memintanya. Kemudian baru beliau berdiri setelah uang itu habis.
Dari satu riwayat diceritakan, suatu ketika datang dengan seseorang kepada beliau meminta sesuatu. Oleh beliau diberilah orang itu kambing yang banyak. Saking banyaknya sampai memenuhi jalan antara dua bukit. Lalu orang itu kembali kepada kaumnya dan berkata, “Masuk Islam-lah kamu sekalian. Sesungguhnya Muhammad bila memberi, dia seperti orang yang tidak takut miskin.”
Muhammad SAW dikabarkan juga pernah menerima 90.000 dirham. Kemudian uang itu diletakannya di atas tikar. Lalu uang itu beliau bagi-bagikan kepada orang banyak, dan beliau tidak menolak permintaan siapa pun yang menerima sampai uang itu habis.
RASULULLAH TELADAN UMMAT
Muhammad SAW sebagai Rasulullah merupakan teladan yang baik bagi semua lapisan masyarakat. Maka, pada saat tertentu beliau menjadi orang kaya, di saat lain menjadi orang miskin, dan beliau juga pernah berada pada posisi di antara keduanya.
Muhammad SAW pernah menjadi orang kaya, agar umatnya dapat mencontoh bagaimana beliau berinteraksi dengan harta. Seperti bagaimana memperoleh harta dengan baik, mensyukuri kekayaan, atau membelanjakannya di jalan yang benar.
Sebaliknya, beliau juga pernah menjadi orang miskin, agar dapat menjadi contoh yang baik bagi ummatnya yang kekurangan. Misalnya bagaimana cara bersabar, menjaga kehormatan dalam kemiskinan, serta bagaimana keluar dari jeratan kemiskinan dengan cara yang baik. Begitu pula halnya ketika beliau berada pada posisi antara kaya dan miskin.
Sebagai sosok figur teladan, memang Muhammad SAW mempunyai keunikan tersendiri mengenai kekayaan. Maka, tidak adil rasanya bila sementara ini banyak dari pemuka agama hanya mengemukakan kesederhanaan/kemiskinan beliau, karena Muhammad SAW pernah pula menjadi entrepreneur sukses dengan kekayaan yang berlimpah.
Setelah mengetahui catatan sejarah Muhammad SAW dari sisi lain, keputusan ada di tangan kamu. Apakah kamu terpacu untuk mencontoh beliau menjadi orang miskin atau orang kaya yang dapat bermanfaat bagi orang miskin?
Kamis, 15 Maret 2012
Rabu, 14 Maret 2012
HUKUM NIFAS
DARAH KEBIASAAN WANITA
Syaikh
Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin
Judul Asli:
رسالة في الدماء الطبيعية للنساء
Edisi Terjemah:
DARAH KEBIASAAN
WANITA
Penulis:
محمد بن صالح العثيمين
Penterjemah:
M. Yusuf Harun, MA
Murajaah:
Muhammadun Abd
Hamid, MA
Dr. Muh.
Mu’inudinillah Basri, MA
Erwandi Tarmizi
Penerbit:
Maktab Dakwah dan
Bimbingan Jaliyat Rabwah, IslamHouse.Com,
1428 – 2007
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar..................................................................... 1
Pasal
I : Makna
Haid dan Hikmahnya............................ 4
1. Makna Haid.................................................. 4
2. Hikmah Haid................................................ 4
Pasal
II : Usia
dan Masa Haid.......................................... 5
1. Usia Haid...................................................... 5
2. Masa Haid.................................................... 6
3. Haid Wanita Hamil....................................... 11
Pasal
III : Hal-hal
Diluar Kebiasaan Haid......................... 14
1. Bertambah dan Berkurangnya Masa Haid... 14
2. Maju atau Mundur Waktu Datangnya Haid. 14
3. Darah Berwarna Kuning atau Keruh............ 15
4. Darah Haid Keluar Secara Terputus-putus... 16
5. Terjadinya Pengeringan Darah..................... 18
Pasal
IV : Hukum-hukum
Haid......................................... 19
1. Shalat............................................................ 19
2. Puasa............................................................. 23
3. Thawaf.......................................................... 24
4. Thawaf Wada’.............................................. 25
5. Berdiam Dalam Masjid................................. 26
6. Jima’ (Besenggama)...................................... 27
7. Talak............................................................. 28
8. ‘Iddah Talak Dihitung Dengan Haid........... 32
9. Keputusan Bebasnya Rahim......................... 35
10.Kewajiban Mandi......................................... 35
Pasal
V : Istihadhah
dan Hukum-hukumnya.................... 38
1. Makna Istihadhah......................................... 38
2. Kondisi Wanita Mustahadhah...................... 39
3. Kondisi Wanita yang Mirip Mustahadhah... 43
4. Hukum-hukum Istihadhah............................ 45
Pasal
VI : Nifas
dan Hukum-hukumnya............................ 48
1. Makna Nifas................................................. 48
2. Hukum-hukum Nifas.................................... 50
Pasal VII : Penggunaan
Alat atau Perangsang Haid,
Pencegah Kehamilan dan Kandungan.............. 53
1. Pencegah Haid.............................................. 53
2. Perangsang Haid........................................... 54
3. Pencegah Kehamilan.................................... 54
4. Penggugur Kandungan................................. 55
Penutup................................................................................ 59
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ
الرَّحِيمِ
Segala Puji bagi Allah. Hanya kepada-Nya kita memuji,
memohon pertolongan, meminta ampunan dan bertaubat. Kita berlindung kepada
Allah dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa yang ditunjuki Allah maka tiada yang dapat menyesatkannya,
dan barang siapa yang disesatkan-Nya maka tiada yang dapat menunjukinya.
Aku bersaksi bahwa tiada Sembahan yang Haq selain Allah saja, tiada sekutu
bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga
Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada beliau, kepada keluarga dan para
shahabatnya serta siapapun yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari
kemudian.
Sungguh, masalah darah yang biasa terjadi pada kaum wanita,
yaitu Haid, Istihadhah, dan Nifas, merupakan masalah penting yang perlu
dijelaskan dan diketahui hukumnya, perlu dipilah mana yang benar dan yang
salah dari pendapat para ulama dalam
masalah ini. Dan hendaknya yang menjadi sandaran dalam memperkuat dan
memperlemah pendapat dalam hal tersebut adalah dalil dari Kitab dan Sunnah,
karena keduanya merupakan sumber utama yang menjadi landasan dalam beribadah,
yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada para hamba-Nya.
Juga, karena bersandar kepada Kitab dan Sunnah akan membawa
kepada ketenangan jiwa, kebahagiaan dan kepuasan batin serta membebaskan diri
dari tanggungan.
Sedangkan, selain Kitab dan Sunnah tidak dapat dijadikan
hujjah, sebab yang sebenarnya hanyalah yang terdapat dalam firman Allah, sabda
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perkataan Ahli ilmu dari
para shahabat, menurut pendapat yang kuat, dengan syarat tidak menyalahi apa
yang ada dalam Kitab dan Sunnah, serta tidak bertentangan dengan perkataan shahabat yang lain.
Andaikata
menyalahi apa yang ada dalam Kitab dan Sunnah, maka wajib diambil apa yang ada
dalam Kitab dan Sunnah. Dan jika bertentangan dengan perkataan shahabat yang
lain, maka perlu dilakukan tarjih di antara kedua pendapat tersebut dan diambil
mana pendapat yang kuat. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:
فَإِن
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya” (QS. AnNisaa’ [4]: 59).
Dan risalah ringkas ini merupakan penjelasan tentang
masalah yang mendesak tersebut, yakni darah kebiasaan kaum wanita dan
hukum-hukumnya, yang pembahasannya meliputi:
Pasal I : Makna
haid dan hikmahnya.
Pasal II : Usia
dan masa haid.
Pasal III : Hal
hal diluar kebiasaan haid.
Pasal IV : Hukum-hukum
haid.
Pasal V : Istihadhah
dan hukum-hukumnya.
Pasal VI : Nifas
dan hukum-hukumnya.
Pasal VII : Penggunaan alat
pencegah atau perangsang haid, pencegah kehamilan dan penggugur kandungan.
PASAL I
MAKNA HAID DAN HIKMAHNYA
1.
MAKNA HAID
Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir.
Dan menurut syara’ ialah: darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan
karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Jadi haid adalah darah normal, bukan
disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. Oleh karena haid adalah darah normal, maka darah
tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang
nyata pada setiap wanita.
2.
HIKMAH HAID
Adapun hikmahnya, karena janin yang ada di dalam kandungan
ibu tidak dapat memakan sebagaimana yang dimakan anak diluar kandungan, dan
tidak mungkin bagi si ibu untuk menyampaikan sesuatu makanan untuknya, maka
Allah subhanahu wa ta'ala telah menjadikan pada diri kaum wanita proses
pengeluaran darah yang berguna sebagai zat makanan bagi janin dalam kandungan
ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna, yang sampai kepada tubuh janin melalui
tali pusar, di mana darah tersebut merasuk melalui plasenta dan menjadi zat
makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baik Pencipta.
Inilah hikmah haid. Karena itu, apabila seorang wanita
sedang dalam keadaan hamil tidak mendapatkan haid lagi, kecuali jarang sekali.
Demikian pula wanita yang menyusui sedikit yang haid, terutama pada awal masa
menyusui.
PASAL II
USIA DAN MASA HAID
1. USIA HAID
Usia
haid biasanya antara 12 sampai 50 tahun. Dan kemungkinan seorang wanita sudah
mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah
usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang
mempengaruhinya.
Para ulama, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan
tertentu bagi usia haid, di mana seorang wanita tidak mendapatkan haid sebelum
atau sesudah usia tersebut?
Ad Darimi, setelah menyebutkan pendapat-pendapat dalam
masalah ini, mengatakan: “hal ini semua, menurut saya keliru. Sebab, yang
menjadi acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi
bagaimanapun, dan pada usia berapapun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai
darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu”.
Pendapat Ad Darimi inilah yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah.
Jadi kapanpun seorang wanita mendapatkan darah haid berarti
ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9 tahun atau di atas 50 tahun. Sebab
Allah subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada
keberadaan darah tersebut. Maka dalam masalah ini, wajib mengacu kepada
keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan pada
masalah di atas tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hal tersebut.
2. MASA HAID
Para
ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar
enam atau tujuh pendapat dalam hal ini.
Ibnu
Al Mundzir mengatakan: “Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak
mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya”.
Pendapat ini seperti pendapat Ad Darimi di atas dan menjadi
pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al
Qur’an, Sunnah dan logika.
Dalil
pertama:
Firman
Allah subhanahu wa ta'ala:
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ
تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “haid itu adalah suatu kotoran”,
oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci…”
(QS. Al Baqarah [2]: 222).
Dalam ayat ini,
yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan
berlalunya sehari semalam, atau tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal
ini menunjukkan bahwa illat (alasan) hukum (larangan menjauhui istri) adalah
haid, yakni ada atau tidaknya. Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan
jika telah suci (tidak haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut.
Dalil
kedua:
Diriwayatkan dalam shahih Muslim bahwa Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang haid ketika dalam keadaan
Ihram untuk umrah:
افْعَلِيْ مَا يَفْعَلُ الحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوْفِي بِالبَيْت حَتَّى تَطْهُرِي
“lakukankanlah apa yang dilakukan jamaah
haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci” (HR.
Muslim: 4/30).
Kata Aisyah: “Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku
suci”.
Dalam shahih Al-Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah:
انْتَظِرِيْ، فَإِذَا طَهُرْتِ فَاخْرُجِي إِلَى التَنْعِيْم
“Tunggulah, jika kamu suci, maka keluarlah ke Tan’im”.
Dalam hadits
ini, yang dijadikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai batas
akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu, ini menunjukkan
bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya.
Dalil ketiga:
Bahwa pembatasan
dan rincian yang disebutkan para fuqaha’ dalam masalah ini tidak terdapat dalam
Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
padahal ini masalah penting, bahkan amat mendesak untuk dijelaskan. Seandainya
batasan dan rincian tersebut termasuk yang wajib difahami oleh manusia dan
diamalkan dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala, niscaya
telah dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan Rasul-Nya kepada setiap orang,
mengingat pentingnya hukum-hukum yang diakibatkannya yang berkenaan dengan
shalat, puasa, nikah, talak, warisan, dan hukum lainnya. Sebagaimana Allah dan
Rasul-Nya telah menjelaskan tentang shalat: jumlah bilangan rakaatnya, waktu-waktunya,
ruku’ dan sujudnya; tentang zakat: jenis hartanya, nisabnya, persentasenya, dan
siapa yang berhak menerimanya, tentang puasa; waktu dan masanya, tentang haji
dan masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etika makan, minum, tidur, jima’ (hubungan suami-istri), duduk, masuk
dan keluar rumah, buang hajat,, sampai jumlah bilangan batu untuk bersuci dari
buang hajat, dan perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar,
yang merupakan kelengkapan agama dan kesempurnaan nikmat yang dikaruniakan
Allah kepada kaum mu’minin.
Firman
Allah ta’ala:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ
تِبْيَاناً لِّكُلِّ شَيْءٍ
“…Kami turunkan kepadamu Kitab (Al Qur’an)
untuk menjelaskan segala sesuatu." (QS. An Nahl [16]: 89).
مَا كَانَ حَدِيثاً يُفْتَرَى
وَلَـكِن تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلَّ شَيْءٍ
“…Al-Qur’an itu bukanlah cerita
yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu…". (QS. Yusuf: 111).
Oleh karena itu
pembatasan dan rincian tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka nyatalah bahwa hal itu tidak
dapat dijadikan patokan. Namun, yang sebenarnya dijadikan patokan adalah
keberadaan haid, yang telah dikaitkan dengan hukum-hukum syara’ menurut ada
atau tidak adanya haid.
Dalil ini –yakni
suatu hukum tidak dapat diterima jika tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah-
berguna bagi anda dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu agama lainnya,
karena hukum syar’i tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan dalil syar’i
dari kitab Allah, atau Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
atau ijma’ yang diketahui, atau qiyas yang shahih.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dalam salah satu kaidah yang dibahasnya mengatakan: “Di antara
sebutan yang dikaitkan oleh Allah dengan berbagai hukum dalam Kitab dan Sunnah
yaitu sebutan haid. Allah tidak menentukan batas minimal dan
maksimalnya, ataupun masa suci di antara dua haid. Padahal umat membutuhkannya
dan banyak cobaan yang menimpa mereka karenanya. Bahasapun tidak membedakan
antara satu batasan dengan batasan lainnya. Maka barang siapa menentukan suatu
batasan dalam masalah ini, berarti ia telah menyalahi Kitab dan Sunnah. (Risalah
fil asmaa allati ‘allaqa Asy Syaari al ahkaama bihaa, hal: 35).
Dalil
keempat:
Logika atau qiyas yang benar dan umum sifatnya. Yakni,
bahwa Allah menerangkan illat (alasan) haid sebagai kotoran. Maka manakala haid
itu ada, berarti kotoranpun ada. Tidak ada perbedaan antara hari kedua dengan
hari pertama, antara hari keempat dengan hari ketiga. Juga tidak ada perbedaan
antara hari ke enam belas dengan hari ke lima belas, atau hari ke delapan belas
dengan hari ke tujuh belas. Haid adalah haid dan kotoran adalah kotoran. Dalam
kedua hari tersebut terdapat illat yang sama. Jika demikian, bagaimana mungkin
dibedakan dalam hukum di antara kedua hari itu, padahal keduanya sama dalam
illat? Bukankah menurut Qiyas yang benar bahwa kedua hari tersebut sama dalam
hukum karena kesamaan keduanya dalam illat?
Dalil
kelima:
Adanya perbedaan dan silang pendapat di kalangan ulama yang
memberikan batasan menunjukkan bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang
harus dijadikan patokan. Namun semua itu merupakan hukum-hukum ijtihad yang
bisa salah dan juga bisa benar, tidak ada satu pendapat yang lebih patut
diikuti dari pada lainnya. Dan yang menjadi acuan bila terjadi perselisihan
pendapat adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Jika ternyata pendapat yang menyatakan tidak ada batas
minimal atau maksimal haid adalah pendapat yang kuat dan yang rajih, maka perlu
diketahui bahwa setiap kali wanita melihat darah alami, bukan di sebabkan luka
atau lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa mempertimbangkan masa atau
usia. Kecuali jika keluarnya darah itu terus-menerus tanpa henti atau berhenti
sebentar saja seperti sehari atau dua hari dalam sebulan, maka darah tersebut
adalah darah istihadhah. Dan akan dijelaskan Insya Allah, tentang
istihadhah dan hukum-hukumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Pada prinsipnya,
setiap darah yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang
menunjukkan bahwa darah itu istihadhah.”
Kata beliau pula: “Maka darah yang keluar adalah haid, bila
tidak diketahui darah penyakit atau karena luka.”
Pendapat ini sebagaimana merupakan pendapat yang kuat
berdasarkan dalil, juga merupakan pendapat yang paling dapat dipahami dan
dimengerti serta lebih mudah diamalkan dan diterapkan dari pada pendapat mereka
yang memberikan batasan. Dengan demikian, pendapat inilah yang lebih patut
diterima karena sesuai dengan akidah agama Islam, yaitu mudah dan gampang.
Firman
Allah subhanahu wa ta'ala:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي
الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (QS. Al Hajj [22]: 78).
Sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ
إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوْا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوْا
“Sungguh
agama (Islam) itu mudah, dan tidak seseorangpun yang mempersulit
(berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan. Maka berlakulah
lurus, sederhana (tidak melampaui batas) dan sebarkan kabar gembira” (HR. Al
Bukhari).
Dan di antara akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa jika beliau diminta memilih dua perkara, maka dipilihnya yang termudah
selama tidak merupakan perbuatan dosa.
3. HAID
WANITA HAMIL
Pada umumnya, seorang wanita jika dalam keadaan hamil akan
berhenti haid (menstruasi). Kata Imam Ahmad rahimahullah: “kaum wanita
dapat mengetahui adanya kehamilan dengan berhentinya haid”.
Apabila wanita hamil mengeluarkan darah sesaat sebelum
melahirkan (dua atau tiga hari) dengan di sertai rasa sakit, maka darah
tersebut adalah darah nifas, tetapi jika terjadi jauh hari sebelum kelahiran
atau mendekati kelahiran tapi tidak disertai rasa sakit, maka darah itu bukan
darah nifas. Jika bukan darah nifas, apakah itu termasuk darah haid yang
berlaku pula baginya hukum-hukum haid atau disebut darah kotor yang hukumnya
tidak seperti hukum darah haid? ada perbedaan pendapat di antara para ulama
dalam masalah ini.
Dan pendapat yang benar, bahwa darah tadi adalah darah haid
apabila terjadi pada wanita menurut waktu haidnya. Sebab, pada prinsipnya,
darah yang keluar dari rahim wanita adalah darah haid selama tidak ada sebab
yang menolaknya sebagai darah haid. Dan tidak ada keterangan dalam Al Qur’an
maupun Sunnah yang menolak kemungkinan terjadinya haid pada wanita hamil.
Inilah pendapat Imam Malik dan As Syafi'i, juga menjadi
pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Disebutkan dalam kitab Al Ikhtiyar
(hal: 30): “Dan dinyatakan oeh Al Baihaqi menurut salah satu riwayat sebagai
pendapat dari Imam Ahmad, bahkan dinyatakan bahwa Imam Ahmad telah kembali dari
pendapat ini”.
Dengan demikian, terjadilah sesuatu pada wanita hamil
ketika haid, sebagaimana apa yang terjadi pada wanita yang tidak hamil, kecuali
dalam dua masalah:
a.
Talak
Diharamkan mentalak (mencerai) wanita tidak hamil dalam
keadaan haid, tetapi itu tidak diharamkan terhadap wanita hamil. Sebab talak
(perceraian) dalam keadaan haid terhadap wanita yang tidak hamil menyalahi
firman Allah subhanahu wa ta'ala:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“… apabila kamu menceraikan
istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar)" (QS. Ath Thalaq [65]: 1).
Adapun mencerai wanita hamil dalam keadaan haid tidak
menyalahi firman Allah subhanahu wa ta'ala. Sebab, siapa yang mencerai
wanita hamil berarti ia menceraikannya pada saat dalam menghadapi masa
iddahnya, baik dalam keadaan haid atau suci, karena masa iddahnya adalah dalam
kehamilan. Untuk itu, tidak diharamkan mencerai wanita hamil, sekalipun setelah
melakukan jima’ (senggama), dan berbeda hukumnya dengan wanita tidak
hamil.
b.
Iddah
Bagi wanita hamil iddahnya berakhir pada
saat melahirkan, meski pernah haid ketika hamil ataupun tidak. Berdasarkan
firman Allah subhanahu wa ta'ala:
وَأُوْلَاتُ الْأَحْمَالِ
أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka
melahirkan kandungannya” (QS. Ath Thalaq [65]: 4).
PASAL III
HAL-HAL DI LUAR KEBIASAAN HAID
Ada
beberapa hal yang terjadi di luar kebiasaan haid:
1.
BERTAMBAH ATAU BERKURANGNYA MASA HAID.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari,
tetapi tiba-tiba haidnya berlangsung sampai tujuh hari. Atau sebaliknya,
biasanya haid selama tujuh hari, tetapi tiba-tiba suci dalam masa enam hari.
2.
MAJU ATAU MUNDUR WAKTU DATANGNYA HAID.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid pada akhir bulan
lalu, tiba-tiba haid datang pada awal bulan. Atau biasanya haid pada awal
bulan, lalu tiba-tiba haid datang pada akhir bulan.
Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi kedua hal di
atas. Namun pendapat yang benar, bahwa seorang wanita jika mendapatkan darah
(haid) maka dia dalam keadaan haid dan jika tidak mendapatkannya berarti dia
dalam keadaan suci, meskipun masa haidnya melebihi atau kurang dari
kebiasaannya. Dan telah disebutkan dalam pasal terdahulu dalil yang memperkuat
pendapat ini, yaitu bahwa Allah telah mengaitkan hukum-hukum haid dengan
keberadaan haid.
Pendapat tersebut merupakan madzhab Imam Asy Syafi'i dan
menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pengarang kitab Al Mughni
pun ikut menguatkan pendapat ini dan membelanya, ia berkata: “Andikata adat
kebiasaan menjadi dasar pertimbangan, menurut yang disebutkan dalam madzhab,
niscaya dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya dan
tidak akan ditunda-tunda lagi penjelasannya, karena tidak mungkin beliau
menunda-nunda penjelasan pada saat dibutuhkan. Istri-istri beliau dan kaum
wanita lainnya pun membutuhkan penjelasan itu pada setiap saat, maka beliau
tidak akan mengabaikan hal itu. Namun, ternyata tidak ada riwayat yang
menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebutkan
tentang adat kebiasaan ini atau menjelaskannya kecuali yang berkenaan dengan
wanita yang istihadhah saja.
3.
DARAH BERWARNA KUNING ATAU KERUH
Yakni seorang wanita mendapatkan darahnya berwarna kuning
seperti nanah atau keruh antara kekuning-kuningan dan kehitam-hitaman.
Jika hal ini terjadi pada saat haid atau bersambung dengan
haid sebelum suci, maka itu adalah darah haid dan berlaku baginya hukum-hukum
haid. Namun jika terjadi sesudah masa suci, maka itu bukan darah haid.
Berdasarkan riwayat yang disampaikan oleh ummu 'Athiyah Radhiyalluhu ‘Anha:
كُنَّا لاَ نُعِدُّ الصُّفْرَةَ وَالكُدْرَة بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا
“Kami tidak menganggap sesuatu apapun
(haid) darah yang berwarna kuning atau keruh sesudah masa suci”
Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad shahih.
Diriwayatkan pula oleh Al Bukhari tanpa kalimat “sesudah masa suci”,
tetapi beliau sebutkan dalam “Bab: Darah Warna Kuning Atau Keruh Di luar Masa
Haid” dan dalam fathul Baari dijelaskan: “itu merupakan isyarat Al
Bukhari umtuk memadukan antara hadits Aisyah yang menyatakan, “sebelum kamu
melihat lendir putih” dan hadits Ummu Athiyah yang disebutkan dalam bab ini,
bahwa maksud hadits Aisyah adalah saat wanita mendapatkan darah berwarna kuning
atau keruh pada masa haid. Adapun di luar masa haid, maka menurut apa yang
disampaikan Ummu Athiyah”.
Hadits Aisyah yang dimaksud yakni hadits yang disebutkan
oleh Al Bukhari pada bab sebelumnya, bahwa kaum wanita pernah mengirimkan
kepadanya sehelai kain berisi kapas (yang digunakan wanita untuk mengetahui
apakah masih ada sisa noda haid) yang masih terdapat padanya darah berwarna
kuning, maka Aisyah berkata: “janganlah tergesa-gesa sebelum kamu melihat
lendir putih” maksudnya cairan putih yang keluar dari rahim pada saat habis
masa haid.
4.
DARAH HAID KELUAR SECARA TERPUTUS-PUTUS
Yakni sehari keluar darah dan sehari tidak keluar. Dalam
hal ini terjadi 2 kondisi:
a.
Jika kondisi ini selalu terjadi pada seorang
wanita setiap waktu, maka darah itu adalah darah istihadhah.
b.
Jika kondisi ini tidak selalu terjadi pada
seorang wanita tetapi kadang kala saja datang dan dia mempunyai saat suci yang
tepat. Maka para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kondisi ketika tidak
keluar darah. Apakah hal ini merupakan masa suci atau termasuk dalam hukum
haid?
Madzhab Imam Asy Syafi'i, menurut salah satu pendapatnya
yang paling shahih, bahwa hal ini masih termasuk dalam hukum haid, pendapat ini
pun menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan pengarang kitab Al
Faiq, juga merupakan madzhab Imam Abu Hanifah. Sebab, dalam kondisi seperti
ini tidak didapatkan lendir putih; kalaupun dijadikan sebagai keadaan suci
berarti yang sebelumnya adalah haid yang sesudahnyapun haid, dan tak ada
seorangpun yang menyatakan demikian, karena jika demikian niscaya masa iddah
dengan perhitungan Quru’ (haid
atau suci) akan berakhir dalam masa lima hari saja. Begitu pula jika dijadikan
sebagai keadaan suci, niscaya akan merepotkan dan menyulitkan karena harus
mandi dan lain sebagainya setiap dua hari; padahal
syariat tidaklah itu menyulitkan. Walhamdulillah.
Adapun yang masyhur menurut madzhab pengikut Imam Ahmad bin
Hanbal, jika darah keluar berarti darah haid dan jika berhenti berarti suci;
kecuali apabila jumlah masanya melampaui jumlah maksimal masa haid, maka darah
yang melampaui itu adalah darah Istihadhah.
Dikatakan dalam kitab Al Mughni: “jika berhentinya
darah kurang dari sehari maka seyogyanya tidak dianggap sebagai keadaan suci.
Berdasarkan riwayat yang kami sebutkan berkenaan dengan nifas, bahwa
berhentinya darah yang kurang dari sehari tak perlu diperhatikan. Dan inilah
yang shahih, insyaallah. Sebab, dalam keadaan keluarnya darah yang
terputus-putus (sekali keluar, sekali tidak) bila diwajibkan mandi bagi wanita
pada setiap saat berhenti keluarnya darah tentu hal itu menyulitkan, padahal
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي
الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“…
dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu agama suatu kesempitan
…” (QS. Al Hajj [22]: 78).
Atas dasar ini, berhentinya darah yang kurang dari sehari
bukan merupakan keadaan suci kecuali jika si wanita mendapatkan bukti yang
menunjukkan bahwa ia suci. Misalnya, berhentinya darah tersebut pada akhir masa
kebiasaannya atau ia melihat lendir putih (Al Mughni, juz I, Hal: 355).
5.
TERJADI PENGERINGAN DARAH
Yakni, si wanita tidak mendapatkan selain merasa lembab
atau basah (pada kemaluannya).
Jika hal ini terjadi pada saat masa haid atau bersambung
dengan haid sebelum masa suci, maka dihukumi sebagai haid. Tetapi jika terjadi
setelah masa suci, maka tidak termasuk haid. Sebab, keadaan seperti ini paling
tidak dihukumi sama dengan keadaan darah berwarna kuning atau keruh.
PASAL IV
HUKUM-HUKUM HAID
Terdapat banyak hukum haid, ada
lebih dari dua puluh hukum. Dan kami sebutkan di sini hukum-hukum yang kami
anggap banyak diperlukan, antara lain:
1.
SHALAT.
Diharamkan bagi wanita yang sedang haid mengerjakan shalat,
baik fardhu maupun sunnat, dan jika ternyata mengerjakan shalat, maka shalatnya
tidak sah. Tidak wajib baginya mengerjakan shalat kecuali jika ia mendapatkan
sebagian dari waktunya yang cukup untuk mengerjakan satu rakaat sempurna, baik
pada awal atau akhir waktunya.
Contoh pada awal waktu, seorang wanita haid setelah
matahari terbenam tetapi ia sempat mendapatkan waktu sebanyak satu rakaat dari
waktunya. Maka wajib baginya mengqadha shalat maghrib tersebut setelah suci,
karena ia telah mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat
sebelum datangnya haid.
Adapun contoh pada akhir waktu: seorang wanita suci dari
haid sebelum matahari terbit dan masih sempat mendapatkan satu rakaat dari
waktunya. Maka wajib baginya mengqadha shalat subuh tersebut setelah bersuci,
karena ia masih sempat mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu
rakaat.
Namun jika wanita yang haid mendapatkan sabagian dari waktu
shalat yang tidak cukup untuk satu rakaat sempurna; seperti kedatangan haid
-pada contoh pertama– sesaat setelah matahari terbenam, atau suci dari haid
–pada contoh kedua– sesaat sebelum matahari terbit, maka shalat tersebut tidak
wajib baginya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ
أَدْرَكَ رَكْعَةً مِن الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ
“Barang siapa mendapatkan satu rakaat dari
shalat, maka dia telah mendapatkan shalat itu” (Muttafaq ‘alaih).
Pengertiannya, siapa yang mendapatkan kurang dari satu
rakaat berarti tidak mendapatkan shalat tersebut.
Jika seorang wanita haid mendapatkan satu rakaat dari waktu ashar,
maka wajib baginya mengerjakan shalat dzhuhur bersama ashar, atau mendapatkan
satu rakaat dari waktu Isya’ apakah
wajib baginya mengerjakan shalat Maghrib bersama Isya’ ?
Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama dalam
masalah ini. Dan yang benar, bahwa tidak wajib baginya kecuali shalat yang
didapatkan sebagian waktunya saja yaitu shalat Ashar dan shalat Isya’, karena
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِن العَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ
الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ العَصْرَ
“Barang siapa mendapatkan satu rakaat dari
shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalat
Ashar” (Muttafaq ‘alaih).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyatakan
“maka ia telah mendapatkan shalat Dzhuhur dan Ashar” juga tidak menyebutkan
kewajiban shalat Dzhuhur baginya. Dan menurut kaidah: seseorang itu pada
prinsipnya bebas dari tanggungan. Inilah madzhab Imam Abi Hanifah dan Imam
Malik, sebagaimana disebutkan dalam kitab "syarh Al Muhadzdzab juz III,
hal. 70".
Adapun membaca dzikir, takbir, tasbih, tahmid, dan
bismillah ketika hendak makan atau pekerjaan lainnya, membaca hadits, fiqh,
do’a dan aminnya, serta mendengarkan Al Qur’an, maka tidak diharamkan bagi
wanita haid, hal ini berdasarkan hadits dalam shahih Al Bukhari dan Muslim dan
kitab lainnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersandar
di pangkuan Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang ketika itu sedang haid, lalu
beliau membaca Al Qur’an.
Diriwayatkan pula dalam shahih Al Bukhari dan Muslim Dari
Ummu Athiyah Radhiyallahu ‘anha bahwa ia mendengar nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
يُخْرِجُ العَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الخُدُوْرِ وَالحُيَّضَ –
يعني إلى صلاة العيد - وَلْيَشْهَدْنَ الخَيْرَ وَدَعْوَةَ المُسْلِمِيْنَ
وَيَعْتَزِلُ الحُيَّضُ المُصَلَّى
“Agar keluar para gadis, perawan dan wanita
haid- yakni ke shalat Idhul Fitri dan
Adha- serta supaya mereka ikut menyaksikan kebaikan dan do’a orang-orang yang
beriman. Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat”
Sedangkan membaca Al Qur’an bagi wanita haid itu sendiri,
jika dengan mata atau dengan hati tanpa diucapkan dengan lisan maka tidak apa-apa
hukumnya, misalnya mushaf atau lembaran Al Qur’an diletakkan lalu matanya
menatap ayat-ayat seraya hatinya membaca. menurut An Nawawi dalam kitab "Syarh
Al Muhadzdzab" Juz II, hal: 362, hal ini boleh tanpa ada perbedaan
pendapat.
Adapun jika wanita haid itu membaca Al Qur’an dengan lisan,
maka banyak ulama mengharamkannya dan tidak membolehkannya. Tetapi Al Bukhari,
Ibnu Jarir At Thabari dan Ibnul Mundzir membolehkannya.
Juga boleh membaca ayat Al Qur’an bagi wanita haid menurut
Imam Malik dan Asy syafi'i dalam pendapatnya yang terdahulu, sebagaimana
disebutkan dalam kitab Fathul Bari, serta menurut Ibrahim An Nakha’i
sebagaimana diriwayatkan Al Bukhari.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa kumpulan Ibnu
Qasim mengatakan: “Pada dasarnya tidak ada hadits yang melarang wanita haid
membaca Al Qur’an. Sedangkan pernyataan “wanita yang sedang haid dan orang
junub tidak boleh membaca Al Qur’an” adalah hadits dhaif menurut
kesepakatan para ahli hadits. Seandainya wanita yang sedang haid dilarang
membaca Al Qur’an, seperti halnya shalat, padahal pada zaman Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kaum wanitapun mengalami haid, tentu hal ini termasuk
yang dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya,
diketahui oleh istri beliau sebagai ibu kaum mu’minin, serta disampaikan
sahabat kepada orang lain. Namun, tidak ada seorangpun yang menyampaikan bahwa
ada larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini.
Karena itu, tidak boleh dihukumi haram selama diketahui bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak melarangnya, padahal banyak pula wanita haid pada
zaman beliau, berarti hal ini tidak haram hukumnya.
Setelah mengetahui perbedaan pendapat diantara para ulama,
seyogyanya, kita katakan, lebih utama bagi wanita yang sedang haid tidak
membaca Al Qur’an secara lisan, kecuali jika diperlukan. Misalnya seorang guru
wanita yang perlu mengajarkan membaca Al Qur’an kepada siswi-siswinya, atau
seorang siswi yang pada waktu ujian perlu diuji dalam membaca Al Qur’an, dan
lain sebagainya.
2.
PUASA
Diharamkan bagi wanita yang sedang haid berpuasa, baik
puasa wajib maupun sunnat, dan tidak sah puasa yang dilakukannya. Akan tetapi
ia berkewajiban mengqadha’ puasa yang wajib, berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha:
كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ -تعني الحيض- فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
“Ketika kami mengalami haid, diperintahkan
kepada kami mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan mengqadha’ shalat (Muttafaq
‘alaih).
Jika seorang wanita kedatangan haid ketika berpuasa maka
batallah puasanya, sekalipun hal itu terjadi sesaat menjelang Maghrib, dan
wajib baginya mengqadha puasa hari itu, jika puasa tersebut puasa wajib. Namun
jika ia merasakan tanda-tanda akan datangnya haid sebelumnya, tetapi darah baru
keluar setelah Maghrib, maka menurut pendapat yang shahih bahwa puasanya itu
sempurna dan tidak batal, alasannya, darah yang masih dalam rahim belum ada
hukumnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang
wanita yang bermimpi dalam tidur seperti mimpinya orang laki-laki, apakah wajib
mandi? beliaupun menjawab:
نَعَمْ إِذَا هِيَ رَأَت الـمَاءَ
"Ya, jika
wanita itu melihat adanya air”.
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengaitkan hukum dengan air, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya. Demikian
pula masalah haid, tidak berlaku hukum-hukumnya kecuali dengan melihat adanya
darah keluar, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya.
Juga pada saat terbitnya fajar seorang wanita masih dalam
keadaan haid maka tidak sah berpuasa pada hari itu, sekalipun ia suci sesaat
setelah fajar. Tetapi jika suci menjelang fajar, maka sah puasanya, sekalipun
ia baru mandi setelah terbit fajar. Seperti halnya orang dalam keadaan junub,
jika berniat puasa ketika masih dalam keadaan junub dan belum sempat mandi
kecuali setelah terbit fajar, maka sah puasanya. Dasarnya, hadits Aisyah Radhiyallahu
‘anha:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ
جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلاَمٍ ثُمَّ يَصُوْمُ فِي رَمَضَانَ
“Pernah suatu pagi pada bulan Ramadhan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam keadaan junub karena jima’, bukan
karena mimpi, lalu beliau berpuasa". (Muttafaq ‘alaih).
3.
THAWAF.
Diharamkan bagi wanita yang
sedang haid melakukan thawaf di Ka’bah, baik yang wajib maupun sunnah, dan
tidak sah thawafnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada Aisyah:
افْعَلِيْ مَا يَفْعَلُ الحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوْفِيْ بِالبَيْتِ حَتَّي تَطْهُرِي
“Lakukanlah apa saja yang dilakukan jamaah
haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci.”
Adapun kewajiban lainnya seperti sa’i antara Shafa dan marwah,
wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah dan amalan
haji dan umrah selain itu, tidak diharamkan. Atas dasar ini, jika seorang
wanita melakukan thawaf dalam keadaan suci, kemudian keluar darah haid langsung
setelah thawaf atau di tengah-tengah melakukan sa’i, maka tidak apa-apa
hukumnya.
4. THAWAF
WADA’
Jika seorang wanita mengerjakan seluruh manasik haji dan
umrah, lalu datang haid sebelum keluar untuk kembali ke negerinya dan haid ini
terus berlangsung sampai batas waktu pulang, maka ia boleh berangkat tanpa
thawaf wada’. Dasarnya hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma:
أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُوْنَ آخِرَ عَهْدِهِمْ بِالبَيْتِ
إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الحَائِضِ
“Diperintahkan kepada jamaah haji saat-saat
terakhir bagi mereka berada di baitullah (melakukan thawaf wada’), hanya saja
hal ini tidak dibebankan kepada wanita yang sedang haid.” (Muttafaq alaih).
Dan tidak disunnatkan bagi wanita yang sedang haid ketika
hendak bertolak, mendatangi pintu Masjidil Haram dan berdo’a. karena hal ini
tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan
seluruh ibadah harus berdasarkan pada ajaran (sunnah) Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Bahkan, menurut ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah sebaliknya. Sebagaimana disebutkan dalam kisah Shafiyah
Radhiyallahu ‘anha ketika dalam keadaan haid setelah thawaf ifadhah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “kalau demikian, hendaklah ia
berangkat” (hadits muttafaq alaih ) . Dalam
hadits ini, Nabi tidak menyuruhnya mendatangi pintu Masjidil Haram.
Andaikata hal itu disyariatkan, tentu Nabi sudah menjelaskannya.
Adapun thawaf untuk haji dan umrah tetap wajib bagi wanita
yang sedang haid, dan dilakukan setelah suci.
5.
BERDIAM DALAM MASJID
Diharamkan bagi wanita yang sedang haid berdiam dalam
masjid, bahkan diharamkan pula baginya berdiam dalam tempat shalat Ied.
Berdasarkan hadits Ummu Athiyah Radhiyallahu ‘anha bahwa ia mendengar
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُخْرِجُ العَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الخُدُوْرِ، وفيه:
وَيَعْتَزِلُ الحُيَّضُ الـمُصَلَّى
“Agar keluar para gadis, perawan dan wanita
haid… tetapi wanita yang sedang haid menjahui tempat shalat” (Muttafaq alaih).
6.
JIMA’ ( SENGGAMA)
Diharamkan bagi suami melakukan jima’ dengan istrinya
yang sedang haid, dan diharamkan bagi istri memberi kesempatan kepada suaminya
melakukan hal tersebut. Dalilnya firman Allah subhanahu wa ta'ala:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ
قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ
حَتَّىَ يَطْهُرْنَ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: “haid itu suatu kotoran: oleh sebab
itu hendaklah engkau menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah
kamu mendekati mereka sebelum mereka suci…" (QS. Al Baqarah [2]: 222).
Yang dimaksud dengan “المحيض " dalam ayat di atas adalah waktu haid
atau tempat keluarnya darah haid, yaitu:
farji (vagina).
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اصْنِعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“Lakukanlah apa saja kecuali nikah (yakni:
bersenggama).” (HR. Muslim).
Umat
Islam juga telah sepakat bahwa jima’ di dalam farji istri pada masa haid adalah
hal yang dilarang.
Oleh sebab itu, tidak halal bagi orang yang beriman kepada
Allah dan hari kemudian melakukan perbuatan ini, yang telah dilarang oleh Kitab
Allah, sunnah Rasul–Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ijma’ (kesepakatan) umat Islam. Maka barang siapa
yang melanggar larangan ini, berarti ia telah memusuhi Allah dan Rasul-Nya
serta mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman.
An Nawawi dalam kitabnya Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab,
juz II, hal. 374, mengatakan: “Imam Syafi'i berpendapat bahwa orang yang
melakukan hal itu telah berbuat dosa besar. Dan menurut para sahabat kami dan
yang lainnya, orang yang melakukan senggama dengan istri yang sedang haid
hukumnya kafir.
Untuk menyalurkan syahwatnya, suami diperbolehkan melakukan
selain jima’ (senggama), seperti berciuman, berpelukan dan bersebadan pada
selain daerah farji (vagina). Namun sebaiknya, jangan bersebadan pada daerah antara
pusar dan lutut kecuali jika sang istri mengenakan kain penutup. Berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُنِيْ
فَأَتَّزِرُ فَيُبَاشِرَنِي وَأَنَا حَائِضٌ
“Pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyuruhku mengenakan kain lalu beliau mencumbuiku sedang aku dalam keadaan
haid.” (Muttafaq alaih).
7.
TALAK
Diharamkan bagi seorang suami mentalak istrinya yang sedang
haid, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Hai
Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya ( yang wajar)". (QS.
Ath Thalaq [65]: 1).
Maksudnya, istri-istri itu ditalak dalam keadaan dapat
menghadapi iddah yang jelas. Berarti mereka tidak ditalak kecuali dalam keadaan
hamil atau suci sebelum digauli. Sebab jika seorang istri ditalak dalam keadaan
haid, ia tidak dapat menghadapi iddahnya karena haid yang sedang dialami pada
saat jatuhnya talak itu tidak dihitung termasuk iddah. Sedangkan jika ditalak
dalam keadaan suci setelah digauli, berarti iddah yang dihadapinya tidak jelas
karena tidak dapat diketahui apakah ia hamil karena digauli tersebut apakah tidak
hamil, jika ia hamil, maka iddahnya dengan kehamilan, dan jika tidak hamil maka
iddahnya dengan haid. Karena belum dapat dipastikan jenis iddahnya, maka
diharamkan bagi suami mentalak istrinya sehingga jelas permasalah tersebut.
Jadi mentalak istri yang sedang haid haram hukumnya.
Berdasarkan ayat diatas dan hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dalam
shahih Al Bukhari dan Muslim serta kitab hadits lainnya, bahwa ia telah
menceraikan istrinya dalam keadaan haid, maka Umar (bapaknya) mengadukan itu
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Maka Nabipun marah dan
bersabda:
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيْضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ، وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ، فَتِلْكَ العِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ الله أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
“Suruh
ia merujuk istrinya kemudian mempertahankan-nya sampai ia suci, lalu haid, lalu
suci lagi, setelah itu, jika ia mau, dapat mempertahankannya atau mentalaknya
sebelum digauli, karena itulah iddah yang diperintahkan Allah dalam mentalak
istri.”
Dengan demikian, berdosalah seorang suami andaikata mentalak
istrinya yang sedang haid. Ia harus bertaubat kepada Allah subhanahu wa
ta'ala dan merujuk istrinya untuk kemudian mentalaknya secara syar’i sesuai
dengan perintah Allah subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya. Yakni, setelah
merujuk istrinya hendaklah ia membiarkannya sampai suci dari haid yang
dialaminya ketika ditalak, kemudian haid lagi, setelah itu jika ia menghendaki
dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli.
Dalam hal diharamkannya mentalak istri yang sedang haid,
ada tiga masalah yang dikecualikan:
a.
Jika talak terjadi sebelum bersenggama dengan istri
atau sebelum menggaulinya (dalam keadaan pengantin baru misalnya) maka boleh
mentalaknya dalam keadaan haid. Sebab dalam kasus demikian, istri tidak terkena
iddah. Maka talak tersebut tidak menyalahi firman Allah subhanahu wa ta'ala:
فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“…Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya
(yang wajar). (QS. Ath Thalaq [65]: 1).
b.
Jika haid terjadi dalam keadaan hamil, sebagaimana
yang telah dijelaskan sebabnya pada pasal terdahulu.
c.
Jika talak tersebut atas dasar iwadh
(penggantian) maka boleh bagi suami menceraikan istrinya dalam keadaan haid.
Misalnya terjadi percekcokan dan hubungan yang tidak
harmonis lagi antara suami dan istri. Lalu si istri meminta suami agar
mentalaknya dan suami mendapat ganti rugi karenanya, maka hal itu, sekalipun
istri dalam keadaan haid boleh, berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu
'anhu:
أَنَّ
امْرَأَةَ ثَابِتٍ بن قَيْسٍ بن شَمَّاسٍ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه
وسلم فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ الله إِنِّيْ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِيْ خُلُقٍ
وَلاَ دِيْنٍ، وَلَكِنْ أَكْرَهُ الكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ، فَقَـالَ النَّبِيُّ صلى
الله عليه وسلم: أَتَرُدِّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. فَقَالَ
رَسُـوْلُ الله صلى الله عليه وسلم: اقْبَل الحَدِيْقِةَ وَطَلِّقْهَا
تَطْلِيْقَةً رواه البخاري.
“Bahwa istri Tsabit bin Qais bin Syammas
datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Ya
Rasulullah, sungguh aku tidak mencelanya dalam akhlak maupun agamanya, tetapi
aku takut akan kekafiran dalam Islam” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya:
“Maukah kamu mengembalikan kebunnya kepadanya? Wanita itu menjawab: “Ya,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (kepada suaminya):
“Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia" ( HR. Al Bukhari ).
Dalam hadits tadi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak bertanya apakah si istri sedang haid atau suci. Dan karena talak ini
dibayar oleh pihak istri dengan tebusan atas dirinya maka hukumnya boleh dalam
keadaan apapun, jika memang diperlukan.
Dalam kitab Al Mughni disebutkan tentang alasan
dibolehkannya khulu’ (cerai atas permintaan istri dengan tebusan) dalam
keadaan haid: “Dilarangnya talak dalam keadaan
haid karena adanya madharat (bahaya) bagi
istri dengan menunggu lamanya masa iddah. Sedang khulu’ adalah untuk
menghilangkan madharat (bahaya) bagi si istri disebabkan adanya hubungan yang
tidak harmonis dan sudah tidak tahan tinggal bersama suami yang dibenci dan
tidak disenanginya. Hal ini tentu lebih besar madharatnya bagi si istri
daripada menunggu lamanya masa iddah, maka diperbolehkan menghindari madharat
yang lebih besar dengan menjalani sesuatu yang lebih ringan madharatnya. Karena
itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya kepada wanita yang
meminta khulu’ tentang keadaannya.
Dan dibolehkan melakukan akad nikah dengan wanita yang sedang
haid, karena hal itu pada dasarnya adalah halal. Dan tidak ada dalil yang
melarangnya, namun perlu dipertimbangkan bahwa suami tidak diperkenankan
berkumpul dengan istri yang sedang dalam keadaan haid. Jika tidak dikhawatirkan
akan menggauli istri yang sedang haid tidak apa-apa. Sebaliknya, jika
dikhawatirkan maka tidak diperkenankan berkumpul dengannya sebelum suci untuk
menghindari hal-hal yang dilarang.
8.
'IDDAH TALAK DIHITUNG DENGAN HAID
Jika seorang suami menceraikan istri yang telah digauli atau
berkumpul dengannya, maka si istri harus beriddah selama tiga kali haid secara
sempurna apabila termasuk wanita yang masih mengalami haid dan tidak hamil, hal
ini berdasarkan pada firman Allah subhanahu wa ta'ala:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ
“Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’" (QS.Al
Baqarah [2]: 228).
Tiga kali quru’ artinya tiga kali haid. Tetapi jika
istri dalam keadaan hamil maka iddahnya ialah sampai melahirkan, baik masa
iddahnya itu lama maupun sebentar. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa
ta'ala:
وَأُوْلَاتُ الْأَحْمَالِ
أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“…Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya...” (QS. Ath Thalaq [65]: 4).
Jika si istri termasuk wanita yang tidak haid, karena masih
kecil dan belum mengalami haid, atau sudah menopause, atau karena pernah
dioperasi pada rahimnya, atau sebab-sebab lain sehingga tidak diharapkan dapat
haid kembali, maka iddahnya adalah tiga bulan, sebagaimana firman Allah subhanahu
wa ta'ala:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ
الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ
وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
“Dan
perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara istri-istrimu jika kamu
ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan, dan
begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid …"(QS. Ath Thalaq [65]:
4).
Jika si istri termasuk wanita yang masih mengalami haid,
tetapi terhenti haidnya karena suatu sebab yang jelas seperti sakit atau
menyusui, maka ia tetap dalam iddahnya sekalipun lama masa iddahnya sampai ia
kembali mendapati haid dan beriddah dengan haid itu. Namun jika sebab itu sudah
tidak ada, seperti sudah sembuh dari sakit atau telah selesai dari menyusui
sementara haidnya tak kunjung datang, maka iddahnya satu tahun penuh terhitung
mulai dari tidak adanya sebab tersebut. Inilah pendapat yang shahih yang sesuai
dengan kaidah-kaidah syar’iyah. Dengan alasan, jika sebab itu sudah tidak ada
sementara haid tak kunjung datang maka wanita tersebut hukumnya seperti wanita
yang terhenti haidnya karena sebab yang tak jelas; maka iddahnya yaitu satu
tahun penuh dengan perhitungan, sembilan bulan sebagai sikap hati-hati untuk
kemungkinan hamil (karena masa kehamilan pada umumnya 9 bulan) dan tiga bulan
masa iddahnya.
Adapun jika talak terjadi setelah akad nikah sedang sang
suami belum mencampuri dan menggauli istrinya, maka dalam hal ini tidak ada
iddahnya sama sekali, baik dalam keadaan haid maupun yang lain. Berdasarkan
firman Allah subhanahu wa ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن
تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka
sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah yang kamu minta menyempurnakannya ..”
(QS. Al Ahzaab [33]: 49).
9.
KEPUTUSAN BEBASNYA RAHIM.
Yakni bahwa rahim bebas dari kandungan. Ini diperlukan,
selama keputusan bebasnya rahim dianggap perlu, karena hal ini berkaitan dengan
beberapa masalah. Antara lain, apabila seseorang mati dan meninggalkan wanita
(istri) yang kandungannya dapat menjadi ahli waris orang tersebut, padahal si
wanita setelah itu bersuami lagi. Maka suaminya yang baru itu tidak boleh
menggaulinya sebelum ia haid atau jelas kehamilannya. Jika telah jelas
kehamilannya, maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya mendapatkan hak
warisan karena kita putuskan adanya janin tersebut pada saat bapaknya mati.
Namun jika wanita itu pernah haid (sepeninggal suaminya yang pertama), maka
kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya tidak mendapatkan hak warisan, karena
kita putuskan bahwa rahim wanita tersebut bebas dari kehamilan dengan adanya
haid.
10 . KEWAJIBAN
MANDI
Wanita yang lagi haid, jika telah suci wajib mandi dengan
membersihkan seluruh badannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada Fathimah binti Abi Hubaisy:
إِذَا أَقْبَلَت الحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلاَةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِيْ وَصَلِّيْ
“Bila kamu kedatangan haid maka tinggalkan
shalat, dan bila telah suci mandilah dan kerjakan shalat" (HR. Al
Bukhari).
Kewajiban minimal dalam mandi yaitu membasuh seluruh anggota
badan dengan air sampai bagian kulit yang ada di bawah rambut. Yang lebih
utama, adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tatkala ditanya oleh Asma' binti sahl tentang mandi haid, beliau
bersabda:
تَأْخُذُ إِحْدِاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَهَا فَتُطَهِّرَ
فَتُحْسِنَ الطُّهُوْرَ، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتُدَلِّكُهُ دَلْكًا
شَدِيْدًا، حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِهَا، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا المَاءَ،
ثُمَّ تَأْخُذُ فُرْصَةً مُمسَكَة - أَيْ قِطْعَةَ قُمَّاشٍ فِيْهَا مِسْكٌ-
فَتُطَهِّر بِهَا، فَقَالَتْ أَسْمَاءُ: كَيْفَ تُطَهِّرُ بِهَا؟ فَقَالَ:
سُبْحَانَ الله، فَقَالَتْ عَائِشَـةُ لَهَا: تَتْبَعِيْنَ أَثَرَ الدَّمِ
“Hendaklah seseorang di antara kamu
mengambil air dan daun bidara lalu berwudhu dengan sempurna, kemudian
mengguyurkan air ke bagian atas kepala dan menggosok-gosokkannya dengan kuat
sehingga merata ke seluruh kepalanya, selanjutnya mengguyurkan air pada anggota
badannya, setelah itu, mengambil sehelai kain yang ada pengharumnya untuk
bersuci dengannya. Asma’ bertanya:” bagaimana bersuci dengannya? Nabi menjawab:
“Subhanallah”. Maka Aisyah menerangkan dengan berkata:” Ikutilah
bekas-bekas darah”. (HR. Muslim).
Tidak wajib melepas gelungan rambut, kecuali jika terikat
kuat dan dikawatirkan air tidak sampai ke dasar rambut. Hal ini didasarkan pada
hadits yang tersebut dalam shahih Muslim dari Ummu Salamah Radhiyallahu
‘anha bahwa ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنِّيْ امْرَأَةٌ أَشُدُّ شَعْرَ رَأْسِيْ أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الجَنَابَةِ؟ وَفِي رِوَايَةٍ: لِلْحَيْضَةِ وَالجَنَابَةِ؟ فَقَالَ: لاَ إِنَّمَا يَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِي عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيْضِيْنَ عَلَيْكِ الماَءَ فَتَطْهُرِيْنَ
“Aku seorang wanita yang menggelung
rambutku, haruskah aku melepasnya untuk mandi junub? menurut riwayat lain:
untuk (mandi) haid dan junub? Nabi bersabda: “Tidak, cukup kamu siram kepalamu
tiga kali siraman (dengan tanganmu) lalu kau guyurkan air ke seluruh tubuhmu,
maka kamupun menjadi suci”.
Apabila wanita yang sedang haid mengalami suci di
tengah-tengah waktu shalat, maka ia harus segera mandi agar dapat mendapatkan
shalat pada waktunya. Jika ia sedang dalam perjalanan dan tidak ada air, atau
ada air tapi takut membahayakan dirinya jika menggunakan air, atau dalam
keadaan sakit dan berbahaya baginya jika menggunakan air, maka ia boleh
bertayammum sebagai ganti dari mandi sampai hal yang menghalanginya tidak ada
lagi, kemudian mandi.
Ada di antara kaum wanita yang suci di tengah-tengah waktu
shalat tetapi menunda mandi pada waktu lain, dalihnya: “tidak mungkin dapat
mandi dengan sempurna pada waktu sekarang ini”. Akan tetapi ini bukan alasan
ataupun halangan, karena boleh baginya mandi sekedar untuk memenuhi yang wajib
dan melaksanakan shalat pada waktunya. Apabila kemudian ada kesempatan lapang,
barulah ia dapat mandi dengan sempurna.
PASAL V
ISTIHADHAH DAN
HUKUM-HUKUMNYA
1.
MAKNA ISTIHADHAH.
Istihadhah adalah keluarnya darah terus-menerus pada seorang
wanita tanpa henti sama sekali atau berhenti sebentar seperti sehari atau dua
hari dalam sebulan.
Dalil kondisi pertama, yakni keluarnya darah terus- menerus
tanpa henti sama sekali, hadits riwayat Al Bukhari dari Aisyah Radhiayallahu
‘anha bahwa Fathimah binti Abu
Hubaisy berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ الله إِنِّي أُسْتَحَاضُ. وفي رواية: أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُر
“Ya Rasulullah, sungguh aku istihadhah (tak
pernah suci)” Dalam riwayat lain: “Aku mengalami istihadhah, maka tak pernah
suci”.
Dalam kondisi kedua, yakni darah tidak berhenti kecuali
sebentar, hadits dari Hamnah binti Jahsy ketika datang kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan berkata:
يَا رَسُوْلَ الله إِنِّي أُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَبِيْرَةً
شَدِيْدَةً
“Ya Rasulullah, sungguh aku sedang
mengalami Istihadhah yang deras sekali” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At Tirmidzi
dengan menyatakan shahih, disebutkan pula bahwa hadits ini menurut Imam Ahmad
shahih, sedang menurut Al Bukhari hasan.)
2.
KONDISI WANITA MUSTAHADHAH.
Ada tiga kondisi bagi wanita mustahadhah:
a. Sebelum mengalami istihadhah, ia mengalami haid yang jelas
waktunya.
Dalam kondisi ini, hendaknya ia
berpedoman kepada jadwal haidnya yang telah diketahui sebelumnya. Maka pada
masa itu dihitung sebagai haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid.
Adapun selain masa tersebut merupakan istihadhah yang berlaku baginya
hukum-hukum istihadhah.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari
pada setiap awal bulan, tiba-tiba mengalami istihadhah dan darahnya keluar
terus-menerus. Maka masa haidnya dihitung enam hari pada setiap awal bulan,
sedang selainnya merupakan istihadhah. Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu
‘anha bahwa Fathimah binti Abi hubaisy bertanya kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ الله إِنِّي
أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُر أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ؟ قَالَ: لاَ، إِنَّ ذَلَكَ
عِرْقٌ، وَلَكِنْ دَعِي الصَّلاَةَ قَدْرَ الأَيَّامِ الَّتِيْ كُنْتَ
تَحِيْضِيْنَ فِيْهَا ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَصَلِّيْ
“Ya Rasulullah, sungguh aku mengalami istihadhah,
maka tidak pernah suci, apakah aku meninggalkan shalat? Nabi menjawab: “tidak,
itu adalah darah penyakit. Namun tinggalkan shalat sebanyak hari yang biasanya
kamu haid sebelum itu, kemudian mandilah dan lakukan shalat” (HR. Al Bukhari).
Diriwayatkan dalam shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ummu Habibah binti Jahsy:
امْكُثِيْ قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ ثُمَّ
اغْتَسِلِيْ وَصَلِّيْ
“Diamlah (tinggalkan shalat) selama masa
haid yang biasa menghalangimu, lalu mandilah dan lakukan shalat”.
Dengan demikian, wanita yang dalam istihadhah yang haidnya
sudah jelas waktunya, maka ia menunggu selama masa haidnya itu. Setelah itu
mandi dan shalat, meskipun darah pada saat itu masih keluar.
b. Tidak mempunyai masa haid yang jelas sebelum mengalami
istihadhah, karena darah istihadhah tersebut terus-menerus keluar pada dirinya,
sejak pertama kali ia mendapati darah.
Dalam kondisi ini, hendaklah ia
melakukan tamyiz (pembedaan); seperti jika darahnya berwarna hitam, atau
kental, atau berbau maka yang terjadi adalah darah haid, dan berlaku baginya
hukum-hukum haid. Dan jika tidak demikian, yang terjadi adalah istihadhah dan
berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.
Misalnya; seorang wanita pada saat pertama kali mendapati
darah, dan darah itu keluar terus-menerus, akan ia dapati selama sepuluh hari
dalam sebulan darahnya berwarna hitam, kemudian setelah itu berwarna merah,
atau ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan darahnya kental kemudian
setelah itu encer, atau ia dapati selama
sepuluh hari dalam sebulan berbau darah haid tetapi setelah itu tidak berbau.
Maka haidnya yaitu: darah yang berwarna hitam (pada kasus pertama). Darah
kental (pada kasus kedua) dan darah yang berbau (pada kasus ketiga) dianggap
sebagai darah haidh.
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada Fathimah binti abu Hubaisy:
إِذَا كَانَ دَمُ الحَيْضَةِ فَإِنَّهُ أَسْوَدُ يُعْرَفُ،
فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِيْ عَن الصَّلاَةِ، فَإِذَا كَانَ الآخَرُ
فَتَوَضَّئِيْ وَصَلِّيْ فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ
“Jika suatu darah itu darah haid, maka ia
berwarna hitam diketahui, jika demikian maka tinggalkan shalat. Jika selain itu
maka berwudhulah dan lakukan shalat karena itu darah penyakit. (HR. Abu dawud,
An Nasai dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim).
Hadits ini, meskipun perlu ditinjau lagi dari segi sanad
dan matannya, namun telah diamalkan oleh para ulama’. Dan hal ini lebih utama
daripada dikembalikan kepada kebiasaan kaum wanita pada umumnya.
c.
Tidak mempunyai haid yang jelas waktunya, dan darah
yang keluar tidak bisa dibedakan secara tepat. Seperti jika istihadhah yang
dialaminya terus- menerus mulai dari saat pertama kali melihat darah. Sementara
darahnya hanya satu sifat saja, atau berubah-ubah dan tidak mungkin dianggap
sebagai darah haid.
Dalam kondisi ini, hendaklah ia
mengambil kebiasaan kaum wanita pada umumnya. Maka masa haidnya adalah enam
atau tujuh hari pada setiap bulan dihitung mulai dari saat pertama kali
mendapati darah. Sedang selebihnya merupakan darah istihadah.
Misalnya, seorang wanita pada saat pertama kali melihat
darah pada tanggal 5 dan darah itu keluar terus menerus tanpa dapat dibedakan
secara tepat mana yang darah haid, baik melalui warna ataupun dengan cara lain.
Maka haidnya pada setiap bulan dihitung selama enam atau tujuh hari mulai dari
tanggal lima tersebut.
Hal ini berdasarkan hadits Hamnah binti Jahsy Radhiyallahu
‘anha bahwa ia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ الله إِنِّي أُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَبِيْرَةً
شَدِيْدَةً فَمَا تَرَى فِيْهَا قَدْ مَنَعَتْنِي الصَّلاَةَ وَالصِّيَامَ،
فَقَالَ: أَنْعَتُ لَكِ (أَصِفُ لَكِ اسْتِعْمَالَ) الكُرْسُفَ (وهو القطن)
تَضَعِيْنَهُ عَلَى الفَرجِ فَإِنَّهُ يُذْهِبُ الدَّمَ قَالَتْ: هُوَ أَكْثَرُ
مِنْ ذَلِكَ. وَفِيْهِ قَالَ: إِنَّمَا هَذَا رَكْضَةٌ مِنْ رَكَضَاتِ
الشَّيْطَان، فَتَحِيْضِيْ سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةَ فِيْ عِلْمِ الله
تَعَالَى، ثُمَّ اغْتَسِلِيْ حَتَّى إِذَا رَأَيْتِ أَنَّكِ قَدْ طَهُرْتِ
وَاسْتَنْقَيْتِ فَصَلِّي أَرْبَعًا وَعِشْرِيْنَ أَوْ ثَلاَثًا وَعِشْرِيْنَ
لَيْلَةً وَأَيَّامَهَا وَصُوْمِيْ
“Ya Rasulullah, sungguh aku sedang
mengalami istihadhah yang deras sekali, lalu bagaimana pendapatmu
tentang itu karena telah menghalangiku shalat dan berpuasa? Beliau
bersabda: “Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas dengan melekatnya
pada farji (kemaluan) karena hal itu dapat menyerap darah”. Hamnah berkata:
“Darahnya lebih banyak dari pada itu”. Nabipun bersabda: “ini hanyalah salah
satu usikan syaitan. Maka hitunglah haidmu 6 atau tujuh hari menurut ilmu Allah
subhanahu wa ta'ala, lalu mandilah sampai kamu merasa lebih bersih dan suci,
kemudian shalatlah selama 24 atau 23 hari, dan puasalah" (HR. Ahmad, Abu
Dawud, dan At Tirmidzi. Menurut Ahmad dan At Tirmidzi hadits ini shahih, sedang
menurut Al Bukhari adalah hasan)
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “6 atau 7 hari“
tersebut bukan untuk memberikan pilihan, tapi agar si wanita berijtihad dengan
cara memperhatikan mana yang lebih mendekati kondisinya dari wanita lain yang
lebih mirip kondisi fisiknya, lebih dekat usia dan hubungan kekeluargaannya
serta memperhatikan mana yang lebih mendekati haid dari keadaan darahnya dan
pertimbangan-pertimbangan yang lainnya. Jika kondisinya lebih mendekati yang selama
enam hari, maka dia hitung masa haidnya 6 hari, tetapi jika kondisinya lebih
mendekati yang 7 hari, maka dia hitung masa haidnya 7 hari.
3.
HAL WANITA YANG
MIRIP ISTIHADHAH.
Kadang kala seorang wanita, karena suatu sebab, mengalami
pendarahan pada farjinya, seperti karena operasi pada rahim atau sekitarnya,
hal ini ada dua macam:
a. Diketahui bahwa si wanita tak mungkin haid
lagi setelah operasi, seperti operasi pengangkatan atau penutupan rahim yang
mengakibatkan darah tidak bisa keluar lagi darinya, maka tidak berlaku baginya
hukum-hukum mustahadhah. Namun hukumnya adalah hukum wanita yang mendapati
cairan kuning, atau keruh, atau basah setelah masa suci. Karena itu tidak boleh
meninggalkan shalat atau puasa dan boleh digauli. Tidak wajib baginya mandi
karena keluarnya darah, tapi ia harus membersihkan darah tersebut ketika hendak
shalat dan supaya melekatkan kain atau semisalnya (pembalut wanita) pada
farjinya untuk menahan keluarnya darah, kemudian berwudhu seperti berwudhu
untuk shalat. Tidak boleh ia berwudhu untuk shalat kecuali telah masuk
waktunya. Jika shalat itu telah tertentu waktunya seperti shalat lima waktu;
jika tidak tertentu waktunya maka ia berwudhu ketika hendak mengerjakannya,
seperti shalat sunnah yang mutlak.
b. Tidak diketahui bahwa si wanita tidak bisa
haid lagi setelah operasi, tetapi diperkirakan bisa haid lagi, maka berlaku
baginya hukum mustahadhah. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Abi Hubaisy:
إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ، وَلَيْسَ
بِالحَيْضَةِ، فَإِذَا أَقْبَلَت الحَيْضَةُ فَاتْرُك الصَّلاَةَ
“Itu
hanyalah darah penyakit, bukan haid, jika datang haid maka tinggalkan shalat”
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “ jika
datang haid ..” menunjukkan bahwa mustahadhah berlaku bagi wanita yang
berkemungkinan haid, yang bisa datang atau berhenti. Adapun wanita yang tidak
berkemungkinan haid maka darah yang keluar, pada prinsipnya dihukumi sebagai
darah penyakit.
4.
HUKUM – HUKUM ISTIHADHAH.
Dari penjelasan terdahulu, dapat kita
mengerti kapan darah itu sebagai darah haid dan kapan sebagai darah
istihadhah. Jika yang terjadi adalah darah haid maka berlaku baginya
hukum-hukum haid, sedang jika yang terjadi darah istihadhah maka yang berlaku
pun hukum-hukum istihadhah.
Hukum-hukum haid yang penting telah dijelaskan dimuka.
Adapun hukum-hukum istihadhah seperti halnya hukum-hukum tuhr (keadaan
suci). tidak ada perbedaan antara wanita mustahadhah dan wanita suci, kecuali
dalam hal berikut ini:
a.
Wanita mustahadhah wajib berwudhu setiap kali hendak shalat,
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fatimah
binti Abi Hubaisy:
ثُمَّ تَوَضَّئِيْ لِكُلِّ صَلاَةٍ
“Kemudian
berwudhulah setiap kali hendak shalat (HR. Al Bukhari, Bab: membersihkan
darah).
Hal itu memberikan pemahaman bahwa wanita mustahadhah tidak
berwudhu untuk shalat yang telah tertentu waktunya kecuali jika telah masuk
waktunya. Sedangkan shalat yang tidak tertentu waktunya, maka ia berwudhu pada
saat hendak melakukannya.
b.
Ketika hendak berwudhu, membersihkan sisa-sia darah dan
melekatkan kapas (pembalut) pada farjinya untuk mencegah keluarnya darah,
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hamnah:
أَنْعَتُ لَكِ الكُرْسُف فَإِنَّه
يُذْهِبُ الدَّمَ قَالَتْ: هُوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ، قَالَ: فَاتَّخِذِيْ
ثَوْبًا قَالَتْ: هُوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ، قَالَ: فَتَلَجَّمِيْ
“Aku
beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas, karena hal itu dapat menyerap
darah”. Hamnah berkata: “darahnya lebih banyak dari pada itu, beliau Bersabda:
“Gunakan kain!” Kata Hamnah: Darahnya masih banyak pula” Nabipun bersabda:
“Maka pakailah penahan!”
Kalaupun masih ada darah yang keluar setelah tindakan
tersebut, maka tidak apa-apa hukumnya, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam:
اجْتَنِبِيْ الصَّلاَةَ أَيَّامَ
تَحِيْضُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَتَوَضَّئِيْ لِكُلِّ صَلاَةٍ، ثُمَّ صَلِّيْ،
وَإِنْ قَطَرَ الدَّمُ عَلَى الحَصِيْرِ رواه أحمد وابن ماجه.
“Tinggalkan
shalat selama hari-hari haidmu, kemudian mandilah dan berwudhulah untuk setiap
kali shalat, lalu shalatlah meskipun darah menetes di atas alas” (HR. Ahmad dan
Ibnu Majah).
c.
Jima’ (senggama). Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya
pada kondisi di mana bila ditinggalkan tidak dikhawatirkan menyebabkan zina.
Yang benar adalah boleh secara mutlak. Karena ada banyak wanita, mencapai
sepuluh atau lebih, mengalami istihadhah pada zaman nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam sementara Allah dan Rasul-Nya tidak melarang jima’ dengan mereka.
Firman Allah:
فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي
الْمَحِيضِ
“... Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haid …” (QS. Al Baqarah [2]: 222).
Ayat ini menunjukkan bahwa di luar keadaan haid, suami tidak
wajib menjauhkan diri dari istri. Kalaupun shalat saja boleh dilakukan wanita
mustahadhah, maka jima’pun lebih boleh. Dan tidak benar jima’ wanita
mustahadhah dikiaskan dengan jima’ wanita haid, karena keduanya tidak sama,
bahkan menurut pendapat para ulama menyatakan haram (mengkiaskannya). Sebab
mengkiaskan sesuatu dengan hal yang berbeda adalah tidak sah.
PASAL VI
NIFAS DAN
HUKUM-HUKUMNYA
1.
MAKNA NIFAS
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim disebabkan
kelahiran, baik bersamaan dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya (2
atau 3 hari) yang disertai rasa sakit.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Darah yang
dilihat seorang wanita ketika mulai merasa sakit adalah darah nifas”. Beliau
tidak memberikan batasan 2 atau 3 hari. Dan maksudnya yaitu rasa sakit yang
kemudian disertai kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan nifas.
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu
ada batas minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya
"tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh pembawa syariat"
hal. 37: “Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada
seorang wanita mendapati darah lebih dari 40, 60 atau 70 hari dan berhenti,
maka itu adalah darah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu adalah darah
kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu
merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits.
Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, pada
hal menurut kebiasaannya sudah berhenti setelah masa itu atau tampak
tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si wanita menunggu
sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40 hari karena
selama itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan masa
haidnya maka tetap menunggu sampai habis masa haidnya. Jika berhenti selama
masa (40) hari, maka hendaklah hal tersebut dijadikan patokan kebiasaannya
untuk dia pergunakan pada masa mendatang. Namun jika darahnya terus-menerus
keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal ini, hendaklah ia kembali kepada
hukum-hukum wanita mustahadhah yang telah dijelaskan sebelumnya.
Adapun jika si wanita telah suci dengan berhentinya darah berarti ia dalam
keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari. Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat,
berpuasa, dan boleh digauli oleh suaminya. Terkecuali, jika berhentinya darah
itu kurang dari satu hari maka hal itu tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan
dalm kitab Al Mughni.
Nifas tidak dapat ditetapkan, kecuali jika si wanita
melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia, seandainya ia mengalami keguguran
dan janinnya belum jelas berbentuk manusia maka darah yang keluar itu bukan
darah nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu yang berlaku
baginya adalah hukum wanita mustahadhah.
Minimal masa kehamilan sehingga janin berbentuk manusia
adalah 80 hari dihitung dari mulai hamil, dan pada umumnya 90 hari.
Menurut Al Majd Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam
kitab syarhul Iqna’: “Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai
rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak perlu dianggap (sebagai nifas).
Namun jika sesudahnya, maka ia tidak shalat dan tidak puasa. Kemudian, apabila
sesudah kelahiran ternyata tidak sesuai dengan kenyataan maka ia segera kembali
mengerjakan kewajiban; tetapi kalau tidak ternyata demikian, tetap berlaku
hukum menurut kenyataan sehingga tidak perlu kembali mengerjakan kewajiban”.
2. HUKUM –HUKUM NIFAS
Hukum-hukum
nifas pada prinsipnya sama dengan hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa hal
berikut ini:
a.
Iddah.
Dihitung dengan terjadinya
talak, bukan dengan nifas. Sebab jika talak jatuh sebelum istri melahirkan,
iddahnya akan habis karena melahirkan bukan karena nifas. Sedangkan jika talak
jatuh setelah melahirkan, maka ia menunggu setelah haid lagi, sebagaimana telah
dijelaskan.
b.
Masa ila’. Masa haid termasuk masa ila’, sedangkan
masa nifas tidak.
Ila’ yaitu:
jika seorang suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya selama-lamanya, atau
selama lebih dari empat bulan. Apabila ia bersumpah demikian dan si istri
menuntut suami menggaulinya, maka suami diberi masa empat bulan dari saat
bersumpah. Setelah sempurna masa tersebut suami diharuskan menggauli istrinya,
atau menceraikan atas permintaan istri. Dalam masa ila’ selama empat bulan bila
si wanita mengalami nifas, tidak dihitung terhadap suami, dan ditambahkan atas
empat bulan tadi selama masa nifas. Berbeda halnya dengan haid, masa haid tetap
dihitung terhadap sang suami.
c.
Baligh.
Masa baligh terjadi dengan haid, bukan dengan nifas.
Karena seorang wanita tidak mungkin bisa hamil sebelum haid, maka masa baligh
seorang wanita terjadi dengan datangnya haid yang mendahului kehamilan.
d.
Darah haid jika berhenti lalu kembali keluar tetapi
masih dalam waktu biasanya, maka darah itu diyakini darah haid. Misalnya
seorang wanita yang biasanya haid delapan hari, tetapi setelah empat hari
haidnya berhenti selama dua hari, kemudian datang lagi pada hari ketujuh dan
kedelapan, maka tak diragukan lagi bahwa darah yang kembali datang itu adalah
darah haid.
Adapun darah nifas, jika berhenti sebelum empat puluh hari
kemudian keluar lagi pada hari keempat puluh, maka darah itu diragukan. Karena
itu wajib bagi si wanita shalat dan puasa fardhu yang tertentu waktunya pada
waktunya, dan terlarang baginya apa yang terlarang
bagi wanita haid, kecuali hal-hal yang wajib. Dan setelah suci, ia harus mengqadha’
apa yang diperbuatnya selama keluarnya darah yang diragukan, yaitu hal-hal yang
wajib diqadha wanita haid. Inilah pendapat yang masyhur menurut para fuqaha’
dari madzhab Hanbali.
Pendapat yang benar, jika darah
itu kembali keluar pada masa yang dimungkinkan masih sebagai nifas maka
termasuk darah nifas. Jika tidak, maka ia darah haid; kecuali jika darah itu keluar terus-menerus maka
merupakan darah istihadhah. Pendapat ini mendekati keterangan yang disebutkan
dalam kitab Al Mughni juz I, hal. 349, bahwa Imam Malik mengatakan:
“Apabila seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga hari; yakni sejak
berhentinya, maka itu termasuk nifas. Jika tidak, berarti ia darah haid”.
Pendapat ini sesuai dengan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Menurut kenyataan, tidak ada sesuatu yang diragukan dalam
masalah darah. Namun, keragu-raguan adalah hal yang relatif, masing-masing
orang berbeda dalam hal ini sesuai dengan ilmu dan pemahamannya. Padahal Al
Qur’an dan sunnah berisi penjelasan atas segala
sesuatu. Allah tidak pernah mewajibkan seseorang berpuasa ataupun thawaf dua
kali, kecuali jika ada kesalahan dalam tindakan pertama yang tidak dapat
diatasi dengan mengqadha’. Adapun jika seseorang dapat mengerjakan kewajiban
sesuai dengan kemampuannya, maka ia telah terbebas dari tanggungannya,
sebagaimana firman Allah:
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ
وُسْعَهَا لَهَا
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS.
Al-Baqarah [2]: 286).
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka
bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu..”(QS. At- Taghabun [64]:
16).
e.
Dalam haid, jika si wanita suci sebelum masa
kebiasaannya, maka suami boleh dan tidak terlarang menggaulinya. Adapun dalam
nifas, jika ia suci sebelum empat puluh hari maka suami tidak boleh
menggaulinya, menurut yang masyhur dalam madzhab Hanbali.
Tapi pendapat yang benar,
menurut pendapat kebanyakan ulama, suami tidak dilarang menggaulinya. Sebab
tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang, kecuali riwayat
yang disebutkan oleh Imam Ahmad dari Utsman bin Abu Al 'Ash bahwa istrinya
datang kepadanya sebelum empat puluh hari, lalu ia berkata: “Jangan kau
dekati aku!”.
Ucapan Utsman tersebut tidak berarti suami dilarang menggauli istrinya karena hal itu mungkin
saja merupakan sikap hati-hati Utsman, yakni khawatir kalau istrinya belum suci
benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau sebab
lainnya. Wallahu a’lam.
PASAL VII
PENGGUNAAN ALAT
PENCEGAH
ATAU PERANGSANG HAID, PENCEGAH
KEHAMILAN DAN
PENGGUGUR KANDUNGAN
1. PENCEGAH
HAID
Diperbolehkan bagi wanita menggunakan alat pencegah haid,
dengan dua syarat:
a.
Tidak dikhawatirkan membahayakan dirinya, bila
dikhawatirkan membahayakan dirinya karena menggunakan alat tersebut, maka hukumnya tidak boleh. Berdasarkan firman
Allah subhanahu wa ta'ala:
وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى
التَّهْلُكَةِ
“…Dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.." (QS. Al
Baqarah [2]: 195).
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ
اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً
“…Dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu” (QS. An Nisaa' [4]: 29).
b.
Dengan seizin suami, apabila penggunaan alat
tersebut mempunyai kaitan dengannya. Contohnya; si istri dalam keadaan beriddah
dari suami yang masih berkewajiban memberi nafkah kepadanya, menggunakan alat
pencegah haid supaya lebih lama iddahnya dan bertambah nafkah yang
diberikannya. Hukumnya tidak boleh bagi si istri menggunakan alat pencegah haid
saat itu kecuali dengan seizin suami. Demikian juga
jika terbukti bahwa pencegahan haid dapat mencegah kehamilan, maka harus
dengan seizin suami.
Meski secara hukum boleh, namun lebih utama tidak
menggunakan alat pencegah haid kecuali jika dianggap perlu. Karena membiarkan
sesuatu secara alami akan lebih menjamin terpeliharanya kesehatan dan
keselamatan.
2. PERANGSANG
HAID
Diperbolehkan juga menggunakan alat perangsang haid, dengan
dua syarat:
a.
Tidak menggunakan alat tersebut dengan tujuan menghindarkan
diri dari suatu kewajiban. Misalnya; seorang wanita menggunakan alat perangsang
haid pada saat manjelang Ramadhan dengan tujuan agar tidak berpuasa, atau tidak
shalat, dan tujuan negatif lainnya.
b.
Dengan seizin suami, karena terjadinya haid akan mengurangi
kenikmatan hubungan suami-istri. Maka tidak boleh bagi si wanita menggunakan
alat yang dapat menghalangi hak suami kecuali dengan restunya. Dan jika istri
dalam keadaan talak, maka tindakan tersebut akan mempercepat gugurnya hak rujuk
bagi suami jika ia masih boleh rujuk.
3. PENCEGAH KEHAMILAN
Ada dua macam penggunaan alat pencegah kehamilan:
a.
Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan untuk
selamanya. Ini tidak boleh hukumnya, sebab dapat menghentikan kehamilan yang
mengakibatkan berkurangnya jumlah keturunan. Dan hal ini bertentangan dengan
anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar memperbanyak jumlah umat
Islam, selain itu bisa saja anak-anaknya yang ada semuanya meninggal dunia
sehingga ia pun hidup menjanda seorang diri tanpa anak.
b.
Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan sementara,
seorang wanita yang sering hamil dan hal itu terasa berat baginya, sehingga ia
ingin mengatur jarak kehamilannya menjadi dua tahun sekali, maka penggunaan
alat ini diperbolehkan dengan syarat: seizin suami, dan alat tersebut tidak
membahayakan dirinya. Dalilnya, bahwa para sahabat pernah melakukan azl
terhadap istri mereka pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk menghindari kehamilan dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
melarangnya. Azl yaitu tindakan - pada saat bersenggama - dengan
menumpahkan sperma di luar farji (vagina) istri.
4. PENGGUGUR KANDUNGAN
Adapun penggunaan alat penggugur kandungan ada dua macam:
a.
Penggunaan alat penggugur kandungan yang bertujuan
membinasakan janin, jika janin sudah mendapatkan ruh, maka tindakan ini tak diragukan lagi adalah haram, karena termasuk
membunuh jiwa yang dihormati tanpa dasar yang benar. Membunuh jiwa yang
dihormati haram hukumnya menurut Al Qur’an, sunnah dan ijma’ kaum muslimin.
Namun jika janin belum mendapatkan ruh, maka para ulama berbeda pendapat dalam
masalah ini. Sebagian ulama membolehkan, sebagian lagi melarang. Ada pula yang
mengatakan boleh sebelum berbentuk segumpal darah, artinya sebelum berumur 40
hari. Ada pula yang membolehkan jika janin belum berbentuk manusia.
Pendapat yang lebih hati-hati adalah tidak boleh melakukan
tindakan menggugurkan kandungan, kecuali jika ada kepentingan. Misalnya,
seorang ibu dalam keadaan sakit dan tidak mampu lagi mempertahankan
kehamilannya, dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini ia boleh menggugurkan
kandungannya, kecuali jika janin tersebut diperkirakan telah berbentuk manusia
maka hal ini tidak diperbolehkan. Wallahu A’lam.
b.
Penggunaan alat penggugur kandungan yang tidak bertujuan
membinasakan janin. Misalnya, sebagai upaya mempercepat proses kelahiran pada
wanita hamil yang sudah habis masa kehamilannya dan sudah waktunya melahirkan.
Maka hal ini boleh hukumnya, dengan syarat: tidak membahayakan bagi si ibu
maupun anaknya yang tidak memerlukan operasi. Kalaupun memerlukan operasi, maka
dalam masalah ini ada empat hal:
1)
Jika ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan hidup,
maka tidak boleh dilakukan operasi kecuali dalam keadaan darurat, seperti sulit
bagi si ibu untuk melahirkan sehingga perlu dioperasi. Demikian, karena tubuh
adalah amanat Allah subhanahu wa ta'ala yang dititipkan kepada manusia,
maka dia tidak boleh memperlakukannya dengan cara yang mengkhawatirkan kecuali
untuk maslahat yang amat besar. Selain itu, dikiranya bahwa mungkin tidak
berbahaya operasi ini, tetapi ternyata membawa bahaya.
2)
Jika ibu dan bayi yang di kandungnya dalam keadaan
meninggal, maka tidak boleh dilakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya.
Sebab, hal ini tindakan sia-sia.
3)
Jika si ibu hidup, sedangkan bayi yang dikandungnya
meninggal. Maka boleh dilakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya, kecuali
jika dikhawatirkan dapat membahayakan si ibu. Sebab menurut pengalaman wallahu
a’lam bayi yang meninggal dalam kandungan hampir tidak dapat dikeluarkan
kecuali dengan operasi. Kalaupun dibiarkan terus dalam kandungan, dapat
mencegah kehamilan ibu pada masa mendatang dan merepotkannya pula, selain itu
si ibu akan tetap hidup tak bersuami jika ia dalam keadaan menunggu iddah dari
suami sebelumnya.
4)
Jika si ibu meninggal dunia, sedangkan bayi yang
dikandungnya hidup. Dalam kondisi ini, jika bayi yang dikandung diperkirakan
tak ada harapan untuk hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi. Namun jika ada
harapan untuk hidup, seperti sebagian tubuhnya sudah keluar, maka boleh
dilakukan pembedahan terhadap perut ibunya untuk mengeluarkan bayi tersebut.
Tetapi jika sebagian tubuh bayi belum ada yang keluar maka ada yang berpendapat
bahwa tidak boleh melakukan pembedahan terhadap perut ibu untuk mengeluarkan
bayi yang dikandungnya, karena hal itu merupakan tindakan penyiksaan.
Pendapat yang benar, boleh
dilakukan pembedahan terhadap perut si ibu untuk mengeluarkan bayinya jika
tidak ada cara lain. Dan pendapat inilah yang menjadi pilihan Ibnu Hubairah.
Dikatakan dalam kitab Al Inshaf :" pendapat ini yang lebih utama”.
Apalagi pada zaman sekarang ini, operasi bukanlah merupakan
tindakan penyiksaan. Karena setelah perut dibedah, ia dijahit kembali. Dan
kehormatan orang yang masih hidup lebih besar dari pada orang yang sudah
meninggal. Juga menyelamatkan jiwa orang yang terpelihara dari kehancuran
adalah wajib hukumnya dan bayi yang dikandung adalah manusia yang terpelihara,
maka wajib menyelamatkannya. Wallahu a’lam.
PERHATIAN:
Dalam hal diperbolehkannya menggunakan alat penggugur
kandungan sebagaimana di atas (untuk mempercepat proses kelahiran) harus ada
izin dari pemilik kandungan yaitu suami.
PENUTUP
Sampai di sinilah apa yang ingin kami tulis dalam judul yang penting ini. Sengaja kami batasi pembahasan pada
pokok masalah dan kaidah umum. Jika tidak, maka segala cabang dan bagian
masalah serta apa yang terjadi pada wanita dalam permasalahan ini bagai samudra
tak bertepi. Namun, orang yang mengerti tentu dapat mengembalikan cabang dan
bagian permasalahan kepada pokok dan kaidah umumnya serta dapat mengkiaskan
segala sesuatu dengan yang semisalnya.
Perlu diketahui oleh seorang mufti (pemberi fatwa) bahwa
dirinya adalah penghubung antara Allah dan para hamba-Nya dalam menyampaikan
ajaran yang dibawa Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menjelaskan kepada mereka. Dia akan ditanya tentang kandungan Al- Qur’an dan
sunnah, yang keduanya merupakan sumber hukum yang diperintahkan untuk dipahami
dan diamalkan. Setiap yang bertentangan dengan
Al-Qur’an dan sunnah adalah salah, dan wajib ditolak, siapapun orang
yang mengucapkannya serta tidak boleh diamalkan, sekalipun orang yang
mengatakannya mungkin dimaafkan karena berijtihad, tetapi orang lain yang
mengetahui kesalahannya tidak boleh menerima ucapannya.
Seorang mufti wajib memurnikan niatnya, semata-mata karena
Allah subhanahu wa ta'ala, selalu memohon maunah-Nya dalam segala
kondisi yang dihadapi, meminta kehadirat-Nya ketetapan hati dan petunjuk kepada
kebenaran.
Al-Qur’an dan Sunnah wajib menjadi pusat perhatiannya. Dia
mengamati dan meneliti keduanya atau menggunakan pendapat para ulama untuk
memahami keduanya.
Sering terjadi suatu permasalahan, ketika jawabannya dicari
pada pendapat para ulama tak didapati ketenangan atau kepuasan dalam keputusan
hukumnya, bahkan mungkin tidak ditemukan jawabannya sama sekali. Akan tetapi
setelah kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah tampak baginya hukum permasalahan
itu dengan mudah dan gamblang. Hal itu sesuai dengan
keikhlasan, keilmuan dan pemahamannya.
Wajib bagi mufti bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa
dalam memutuskan hukum manakala mendapatkan sesuatu yang rumit. Betapa banyak
hukum yang diputuskan secara tergesa-gesa, kemudian setelah diteliti ternyata
salah. Akhirnya hanya bisa menyesali dan fatwa yang terlanjur disampaikan tidak
bisa diluruskan.
Seorang mufti jika diketahui bersikap hati-hati dan teliti,
ucapannya akan dipercaya dan diperhatikan, tetapi jika dikenal ceroboh yang
sering kali membuat kekeliruan, niscaya fatwanya tidak akan dipercaya orang.
Maka dengan kecerobohan dan kekeliruannya dia telah menjauhkan dirinya dan
orang lain dari ilmu dan kebenaran yang diperolehnya.
Semoga Allah subhanahu wa ta'ala menunjukkan kita dan
kaum muslimin kepada jalan-Nya yang lurus, melimpahkan inayah-Nya dan menjaga
kita dengan bimbingan-Nya dari kesalahan. Sungguh, Dia Maha Pemurah lagi Maha
Mulia.
Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada
Nabi kita Muhammad, juga kepada keluarga dan para sahabatnya. Puji bagi Allah,
dengan nikmat-Nya tercapailah segala kebaikan.
Penulis:
Muhammad Shaleh
Al Utsaimin
Jum’at, 14 Sya’ban 1392 H
Langganan:
Postingan (Atom)